Kol, wortel, kentang, dan tomat nan ranum menjadi perburuan kaum ibu? Ah, tidak. Perburuan siapa saja, termasuk tengkulak atau bandar. Tak hanya dari sekitar Pengalengan, Bandung Selatan dan sekitarnya. Namun dari Banjaran, Bandung kota, Garut dan Cianjur. Itu sebab tiap pagi, sekira Subuh ada pemandangan amat elok. Transaksi, sebagaimana lazimnya sebuah pasar. Pada dingin yang menggigit kulit.
Suasana Pasar pagi hari. Gunung di latar belakang.
“Sabaraha?” ulang seorang lelaki kepada laki-laki bertopi kain dan bersarung yang dililitkan ke leher. Lalu ia menyebutkan angka, persisnya harga kol yang menjadi komoditas unggulan Kecamatan Pengalengan, selain kentang.
“Tinggi, atuh!” sahut lelaki yang berdiri di sebelahnya.
“Apa-apa pan pada naek?” sahut Karta, petani yang membawa sedang memarkir mobil berisi kol di mobil kecil, di seberang ia bergerombol untuk tawar-menawar.
Di sini keunikan Pasar Pengalengan. Di mana kesepakatan (deal or no deal) saat transaksi menjadi kemestian lebih dulu. Jika sekira pada pertengahan Desember ini harga kol satu kilogram tiga ribu, maka tanaman sayur takkan dipanen. Artinya, sayuran itu dalam kualitas prima sehingga mencapai harga yang tinggi pula. Tak berlaku – ibaratnya petani memanen lebih awal dari semestinya atawa kelewat premature dalam memanen untuk mengejar “keuntungan” semata. Tidak!
Seorang pedagang menghitung keuntungan.
Itu berlaku sejak dulu, sekitar lima puluh tahun lalu. Di mana kondisi pasar belum seramai dan sebesar sekarang. Lebih sederhana. Dan yang utama dari jual-beli atau transaksi itu adalah sayur-mayur dari daerah dataran tinggi. Sehingga sayuran dari Pengalengan menjadi contoh model sayuran berkualitas nomor satu. Tak ada cerita kol, kentang, tomat atau wortel diserbu dari luar Pengalengan. “Itu sudah ada sejak saya kecil dan bermain di pasar ini, tahun 1968,” ungkap Jono Haryono, ketua Paguyuban Pasar Pengalengan.
Geliat Pasar Pengalengan, ketika hari masih dibarengi kabut. Ini sebuah pemandangan biasa sejak puluhan tahun di dataran tinggi Bandung Selatan. Dengan suhu sekitar 12-14 derajat celcius, para kaum lelaki, umumnya berpakaian gelap itu bernegosiasi. Ya, di pinggir Jalan Raya Pengalengan hingga ketika matahari muncul dari balik bukit sisi Timur.
Ojek sepeda motor mengepung pasar. Dini hari.
Sepanjang tiga ratus meter berderet sepeda motor – termasuk para tukang ojek – bagai menjadi sebuah pagar bagi yang berbelanja di pasar Pengalengan. Kondisi jalanan di dalam pasar becek, karena semalam turun hujan. Namun tak pernah menjadi hambatan bagi mereka: pembeli maupun pedagang, dengan menyiasati kakinya dibungkus sepatu karet setinggi betis. Lengkap dengan kepala berpenutup. Mereka bergerak mencari kebutuhan untuk sehari-hari: sayur dan bahan pokok lainnya. Termasuk makanan dan jajanan instan dengan kemasan nan kemilau di era modern.
“Sementara … kentang dari Pengalengan delapan ratus rupiah perkilogram …!” sebut penyiar RRI beberapa tahun lalu pada siaran malam pukul 21.00 Wib.
Siar perihal sayur-mayur dari Pengalengan itu sebuah pertanda. Bahwa dari daerah ini, pelbagai sayuran menjadi andalan, menjadikan pasar menggiurkan. Setiap hari, tidak melalui pasar secara fisik; kol, wortel, kentang, tomat diangkut ke luar Pengalengan. Bisa diambil dari kebun langsung, dengan truk-truk tiga-perempat bak terbuka. Ke Bandung, Jakarta dan bahkan sebagian menyeberang ke Lampung.
Mereka berjualan di emper toko. Hujan.
Harga kentang per pertengahan Desember ini, di kisaran angka tujuh ribu rupiah. Itu untuk jenis yang super. Karena ada tingkat-tingkatan: A, B, dan C. Begitupun dengan jenis sayuran semisal tomat – yang mesti segera dijual, mengingat tingkat kesegarannya terbatas. Berbeda dengan kentang yang bisa bertahan sebulan, di mana bisa disortir dan disimpan di gudang lebih dulu oleh para petani mapan.
“Dulu malah ada seperti papan pengumuman. Di mana setiap orang bisa tahu harga sayur-mayur saat itu,” kata Pak Dedi seorang satpam berusia 58 tahun yang agak menyesalkan tidak adanya plank lagi di pasar itu. Sebagai ciri pasar sayur. Di mana terutama pedagang maupun calon pembeli bisa memonitor. Nah, sekarang plank untuk nama pasar pun tak ada. Kecuali plank kecil tentang Koppas – Koperasi Pasar berlantai dua dan seadanya.
Didukung Petani
Sepelemparan batu, hamparan tanaman sayuran ada di timur, selatan dan barat Pasar Pengalengan. Di mana para petani masih dengan kecintaannya, menanam sayur dan tetap bertahan sebagai petani. Mereka enggan beralih profesi, menjadi urban atau mencari jenis pekerjaan lain. Ini seperti yang dilakukan oleh Pak Oji Setyadji Mulya. “Dulu, petani di Pengalengan ada sekitar 22 ribu orang. Sekarang tinggal delapan ribuan,” tutur mantan Penyuluh pertanian, 63 tahun itu.
Buruh tani sayur. Tenaga kerja andalan sayur yang dijual di Pasar.
Jika disebut penurunan, tak bisa ditampik. Ini mengacu pada petani di negara-negara maju: sedikit SDM, dan hasil pertanian baik serta bermutu. Namun yang disayangkan apabila mereka tak jelas ke mana dan “kerja” apa. Oleh lelaki yang mengamati hasil sayur di Pengalengan masih disebut baik, mestinya diiringi dengan tempat, dalam hal ini pasar yang representatif. Sehingga ada daya tawar dan mobilitas yang baik pula.
Di sisi lain, orang seperti Pak Oji bangga. Karena para petani dari daerah ini sudah ada kemajuan cara berpikir. Sehingga petani tak hanya mengandalkan penanaman sayur secara tunggal. Namun sudah menggunakan tumpang-sari. Artinya, di lahan yang sama bisa ada dua-tiga jenis sayuran yang ditanam. Saat ini varietas kentang Grandnova masih menjadi andalan dari Pengalengan. “Namun yang membanggakan, sayur dari sini masih baik. Masih teratas kualitasnya,” bangga petani yang kerap diminta sebagai nara sumber untuk urusan sayur-mayur itu.
Buruh tani sayur pulang dengan duduk di bak mobil berisi sayuran.
Wajib Kompak
Pasar Pengalengan pernah terbakar dua kali, “terbaru” dua tahun lalu. Dan itu yang membuat kondisi pasar yang tak tertata dengan baik. Lahan dengan luas 1,2 Ha dipadati 438 kios. Selebihnya 200 orang berdagang secara kaki lima alias terbuka. Termasuk mereka yang bedagang pada Subuh. “Sejumlah itu pula anggota paguyupan Pasar Pengalengan. Belum ditambah dengan para tukang ojek yang kami anggap sebagai anggota juga,” kata Pak Jono yang juga anggota BPD.
Mereka adalah pelaku dan sekaligus “pemilik” Pasar Pengalengan dalam arti sesungguhnya. Sehingga melampaui anggota Koppas, koperasi pasar, yang hanya sekitar dua puluh persen yang juga anggota paguyuban. Di wadah paguyuban inilah mereka berkeinginan keras untuk memajukan dan menyamankan pasar rakyat ini. “Wajib hukumnya, anggota paguyuban harus kompak,” tandas Jono.
Bisa dimengerti. Sebab pasar Pengalengan pernah dikelola oleh Pemda (UPTD) sekitar 17 tahun. Namun amat sangat tak memuaskan mereka yang menjadi pedagang di pasar sayuran yang telah berkembang menjadi pasar rakyat yang komplet itu. Sehingga kemudian diambil alih oleh warga desa atau yang sekarang dalam wadah Paguyuban itu. Dengan jumlah seribu dua ratusan orang, mereka bertekad untuk memajukan pasar. “Kami tak ingin direlokasi. Dan kalau kami akan membangun, dengan cara kami,” urai lelaki asli Pengalengan itu.
Yang dimaksud dengan cara mereka, adalah tidak tergantung, baik dari bangunan fisik, cara membangunan dan cara “memiliki”nya. Menurut, Jono, supaya bisa mandiri. Tidak ditekan. “Kalau anggota paguyuban bisa membangun dalam lima tahun, ya tidak apa-apa. Yang penting kami bisa mandiri.”
Konsep yang ditawarkan dalam memajukan Pasar Pengalengan itu, cukup jelas. Atas kesadaran mereka sebagai “pemilik” pasar sayuran yang memang menjadi andalan warga: baik sebagai pedagang maupun petaninya. Ini sebuah niatan yang kuat. “Kalau perlu kami bisa sama seperti pasar-pasar modern, atau lebih!” harap Jono bersemangat.
Juragan kol di kiosnya yang sederhana (foto atas). Dan mereka, tidak wanita maupun pria, semua berpenutup kepala untuk menghalau hawa dingin (bawah).
Apakah Pasar Pengalengan akan menjadi sebuah bentuk Pasar Rakyat yang digarap dan dimiliki oleh rakyat? Sehingga sayur-mayur Negeri Pengalengan tetap nomor satu? ***
Foto-foto: TS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H