Warga Jakarta, terus bertambah. Sebutlah sepuluh juta jiwa lebih. Dan warga tetap dan niscaya membutuhkan air, dalam kesehariannya. Sementara air sumur/ tanah, terus tergerus alias kian berkurang mutunya, kalau tak ingin disebut mengkhawatirkan. Sedangkan 13 sungai yang ada, hanya 2 yang bisa diberdayakan: Kali Krukut dan Kali Cengkareng Drain. Itupun tinggi amoniak, berdeterjen dan seterusnya yang tak bisa ditoleransi untuk disebut air bersih dikonsumsi. Mesti diolah secara seksama.
Dari sini Palyja mengambil perannya sebagai penyedia air bersih bagi sebagian warga Jakarta. Meski hanya bisa melayani atau menjual ke warga Jakarta yang perlu “air sehat” dalam bilangan: 160,3 juta m3 per tahun 2015. Persisnya selama 18 tahun melayani, Palyja sudah melayani pelanggannya sebanyak 404. 769 pelanggan.
Dengan acara Nangkring Kompasianer kedua bersama Palyja, IPA Pejompongan 1 pada 3 November – dan dilanjutkan kunjungan ke IPA Taman Kota – makin menjelaskan. Bahwa kebutuhan air – khususnya di DKI Jakarta 100liter/hari/orang – menjadi sebuah keniscayaan yang mesti dikelola dengan seksama. Mengingat air, seperti disebutkan pimpinan Palyja lebih penting atau dalam bahasanya: kalau orang tidak makan, mungkin bisa bertahan seminggu sedangkan jika tidak air (untuk minum) berapa kuat untuk bertahan hidup? Artinya, benar: Bersama Demi Air, agar kehidupan warga Jakarta terus berlangsung.
Sementara Palyja masih terbatas dalam melayani warga ibukota dalam soal yang sangat dibutuhkan. Jika menilik pertumbuhan apartemen, rumah susun sebagai salah satu cara ibukota menyiasati warga untuk kebutuhan papan, menjadi jelas dan tak bisa tidak: membutuhkan air bukan lagi dari air tanah. Di Palyja, instalasi pengolahan air baku menjadi air bersih, memang hanya dilayani 4 (empat) Instalasi Pengolahan Air (IPA), yakni:
- IPA 1 Pejompongan: 2.000 liter per detik.
- IPA 2 Pejompongan: 3.600 liter per detik.
- IPA Cilandak: 400 liter per detik.
- IPA Taman Kota: 150 liter per detik.
Seperti diketahui, Palyja mendapat air dari Sungai Tarum Barat, selain dari dalam kota Jakarta yang terbatas atau lebih kecil dari dua sungai. Di mana air dari sungai itu tak sepenuhnya untuk kebutuhan air baku yang kemudian dijadikan air bersih warga Jakarta. Sebab, seperti diakui Meyritha, air dari aliran sungai ini juga untuk kebutuhan irigasi. Sebab, ini adalah kekayaan negara dan seisinya yang mesti dibagi-bagi. Tak bisa dimonopoli, tentu.
Itulah yang terus disiasati Palyja. Termasuk kami para Kompasianer yang diajak mengunjungi IPA di Taman Kota, Jakarta Barat yang tak jauh dari Kanal Barat itu. Di tempat ini hanya ada belasan orang saja, Budi Susilo costumer service dan dengan Kepala Instansi Okvita dibantu Febri Yuarsa, unit head selama 24 jam itu, cumalah dijagai – persisnya dilakukan oleh satu analisis, satu operator dan dua orang satpam.
Air baku yang diperoleh IPA Palyja dari Sungai Cengkareng Drain ini jarak intake (pintu air) hanya 1,5 km. Sedangkan jika di musim kemarau dan air surut berlebihan, tak bisa tidak “mengganggu” operasional IPA Taman Kota ini yang didesain untuk mengolah air tawar. Ya megingat Palyja Taman Kota ini berjarak hanya sekitar 5 km ke laut Jawa. Jika terjadi instruksi air laut, maka “pintu air” akan ditutup. Tak ada jalan lain. Agar air bersih yang dihasilkan Palyja sesuai dengan standar yang selama ini disandang sebagai penyedia air bersih dan memperbaiki kebocoran fisik pada pipa jaringan sepanjang 4.864 km, metode kamera JD7 20,3 km, metode suara correlator 22, 9 km.
Modal 2 triliun rupiah yang digelontorkan Palyja sebagai bagian cara dalam pengembangan teknologi di instalasi air, jaringan distribusi, sistem kontrol dan layanan pelanggan. Dan teknologi “terbaru” yakni teknologi Moving Bed Biofilm Reactor (MBBBR) yang menggunakan mikroorganisme alami yang mereduksi tingkat amonium dalam air digunakan media tumbuh (Meteor).