Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bangsa Indonesia: Bodoh?

14 Juli 2014   23:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:20 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1405330515462035845

APAKAH bangsa kita bodoh? Saya pengin menjawab: tidak. Ya, tidak. Bukan. Bukan bangsa yang bodoh. Setidaknya, kita sudah merdeka lebih dari lima puluh tahun, dan Undang-undang Dasar kita menyebutkan: kita merdeka agar bisa mengurangi kebodohan dan kemiskinan. Juga pemerataan ekonomi.

Sayangnya, setelah Pemilihan Presiden langsung ketiga pada 9 Juli 2014 kita mendapatkan hal yang sebaliknya.  Di mana bukti kebodohan itu? Kita selusuri pelan-pelan. Di mana hari-hari ini sedang ada pengiriman penghitungan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Yakni ketika memasuki (sistem) tabulasi tingkat kecamatan, kabupaten hingga 22 Juli mendatang dihitung di Pusat. Di mana formulir C1 ada – bukan hanya satu-dua – yang angkanya menjadi ajaib. Karena hitung-hitungan matematikanya yang dipertanyakan.

Di sinilah bisa katakan terbacanya kebodohan kita. Terutama dalam hal menghitung angka-angka yang semestinya tidak terlalu rumit. Lebih-lebih bila yang menulis-cantumkan di formulir C1 itu, jelas-jelas petugas yang telah melewati pendidikan dasar alias SD. Keyakinan saya, sudah lulus SMA sederajat. Ya, para panitia pemungutan suara bisa jadi ada yang S-1. Malah mungkin S2.

Apakah kebodohan (orang-orang) itu adanya hanya di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan sekolah? Ternyata tidak. Karena ada di ibukota Negara Jakarta, bahkan di Kota Pelajar Jogja. Sebaran kebodohan ini jelas mengenaskan, dan bisa dipertanyakan. Bahwa alokasi 20 persen untuk bidang yang satu ini jauh dari dengang-dengung para politikus ketika sedang berkampanye: pendidikan.

Baik, kita simak saja yang satu ini:

Tabel suara kejanggalan dan “kebodohan”. Diambil dari Koran TEMPO, 14 Juli 2014. (Repro: doc.TS)

Bagaimana mungkin, hitung-hitungan dengan 3 (tiga) digit saja tak dikuasai mereka, notabene lebih dari lulusan SD. Karena anak SD untuk menjumlahkan angka 97 ditambah 193 sama dengan 270, jelas akan disalahkan oleh gurunya. Mestinya berapa? Ya: 290.

Angka dan hitung-hitungan contoh itu terjadi di TPS 7, Baciro, Gondokusuman, Jogja, DIY. Yakni angka 97 suara itu diperoleh pasangan Prabowo-Hatta dan 193 diperoleh Jokowi-JK. Sedangkan angka 270 adalah jumlah suara sah.

Jika diselusuri lebih jauh, berkemungkinan itulah politik, bukan kebodohan benar. Karena diduga angka 97 sebenarnya adalah 77 (suara). Politicking.

Contoh lain, masih di DIY. Tepatnya di TPS 26, Argorejo, Sedayu, Bantul. Di situ tercantum angka 104, 133, 137. Yakni angka perolehan Prabowo-Hatta 104, Jokowi-JK 133. Lha, kok jumlah suara sahnya menjadi 137? Dalam tabulasi itu, ada persoalan pada lembar data jumlah suara. Jumlah suara sah 137 dan tidak sah 3. Tapi jumlah suara sah dan tidak sah menjadi 240. Angka 1 pada salah satu calon seharusnya hilang.  Persisnya perolehan Prabowo-Hatta mestinya: 04.

Sulapan itu juga terjadi di TPS 41, Rawamangun, Pulogadung, Jakarta Timur, DKI. Yang mestinya malu karena di situ ada IKIP yang sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Kok ya kebodohan bersinggungan di wilayah ini. Ya, bisa saja. Dapat kita simak di deret paling atas kolom itu. Di mana Prabowo-Hatta 289, Jokowi-JK 231, dan jumlah suara sah 470. Kan mestinya 520. Kenapa? Diperkirakan angka 289 semestinya 239.

Yang begitu, entah berapa banyaknya. Mungkin akan menjadi fantastis. Hanya karena kita masih bodoh dalam matematika sekelas tingkat SD: hitung-hitungan atawa matematika.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin bangsa ini akan menjadi bangsa yang pintar? Kalau mereka yang dipercaya adalah bodoh dalam matematika tingkat SD? ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun