Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bangku Kayu yang Kesepian

17 Mei 2014   13:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14002848081272340785

Cerpen Thamrin Sonata

gambar diambil dari:susastrakmsi.blogspot.com

DARI atas bus wisata bertingkat, kupandangi bangku kayu kosong. Tak ada Mar di sana, yang mestinya duduk menungguku. Lalu pandanganku beralih ke daun cokelatmelayang-layang luruh dan lalu hinggap di bangku itu. Pluk.

“Ke mana Mar ....”

Aku perlu sekali lagi mengelilingi Monas yang digagas Bung Karno dengan bis di era Gubernur yang mengaku kerempeng dari Solo itu. Tidak berharap seperti di London. Cuma menghilangkan penat, kenapa gadis itu belum duduk di bangku kayu itu. Bangku kayu yang tak pernah diduduki orang lain, pada setiap aku berkeinginan jumpa dengannya. Lalu kami ngobrol sekenanya. Tentang sebuah cita-cita bagi orang yang beranjak dewasa. Berdua saja.

“Kita tak pernah dibelenggu oleh apa pun. Untuk kita melangkah berdua, kan?”

“Tak ....”

“Bener?”

“Ya, benar.”

Aku terganggu dengan percakapan sore, sebelum perpisahan minggu lalu. Di mana Mar seperti ingin diikat dengan keniscayaan, dan itu tak kunjung datang dari mulutku. Aku seperti pelo untuk maju selangkah yang tinggal selangkah itu. Ke pelaminan. Bersamanya. Berdua saja.

Seorang wanita, kerap bimbang saat usia sudah merambat di angka-angka ambang batas. Dan lelaki yang sudah dilabuhi hatinya, tak kunjung menegasikan. Kecuali “aku ingin ketemu.”

“Kenapa?”

“Bukan kenapa? Kan aku ingin menghiburmu.”

Mar biasanya tak berkutik. Lalu ia diam rambutnya dipilin-pilin. Sendiri. Seperti berkelindan dengan hatinya. Yang mungkin kehabisan kata-kata. Menghdapi aku yang tak kunjung bisa berkata jelas: ya atau tidak.

“Te, sejujurnya, kapan kita mesti tidak terus begini. Bertemu dan bertemu. Seperti gelandangan Monas ...”

Bis sudah berputar di Masjid Istiqlal. Lalu beringsut menyusuri sisi utara gedung petinggi negeri yang mungkin sedang galau, sejajar dengan kali keruh air itu. Mengingat ini masa-masa sulit. Di mana serangan bertubi mengarah ke dirinya.

Lalu lantai dua bis yang seperti bisa menggapai daun-daun pepohonan di sekitar Monas itu berjuntai, melambai-lambai. Bergoyang-goyang, dan mungkin bisa kugapai dengan tangan telanjang. Meski tak kulakukan. Karena aku sedang fokus mencari gadis berkulit putih, suka tersenyum dan sesekali mengurai derai tawanya yang melengking.

“Kau jahat. Kita musuhan,” serumu, beberapakali kepadaku.

Aku tak menimpali. Kalau aku jahat, kenapa ia mau ...mencubitku dengan sayang? Hayo? Lalu menggelendotkan kepalanya ke lengan kukuhku. Lalu ia meneruskan mencubit-cubiti bulu-bulu milikku di lengan. Sambil menyeringai: ihh!

Aku mesti berputar lagi dengan bis tingkat itu. Melihat Tugu Selamat Datang di Bunderan HI. Untuk ketiga kalinya. Aku akan menyusur Jalan Thamrin, melintas Sarinah dan tak mau menungguinya di bangku Monas sana. Sendirian. Tak.

“Kau jahat, Te.” Kudengar lagi suara entah ada entah tidak. Mungkin Mar sudah duduk di sana? Dan menyerukan kegalauannya menungguku yang sedang asyik dengan bis bagus bertingkat dan melihat Jantung Jakarta dengan hati diliputi rindu. Setengah rindu. Karena sesungguhnya aku sedang mencoba menimbang. Antara menerima tantangan Mar dan perimintaan orangtuanya. Untuk menjadi lelaki yang sebenarnya. Lelaki dewasa dan kemudian menjalani bersamanya.

“Kulihat Anda tak kunjung turun ...” seorang lelaki duduk di bangku seberang, tiba-tiba. Mengagetkan dan sekaligus “kenapa, memang”?

Usil amat dia.

“Masih ingin terus berputar-putar ngelihat Thamrin-Bunderan HI, Monas dan Masjid Istiqlal?”

Aku terusik. Apalagi yang menyapa adalah lelaki sangar. Berwajah angker, dan sempat kulihat tato di tangan kirinya.

“Anda sendiri?”

“Kalau saya, sedang janjian.”

“Di bis ini?”

“Ya. Dengan Marni Mardinata ....”

Duk!

“Diulang.”

“Mar. Gadis berkulit putih, yang setia setiap kuajak ketemuan di sini.”

“O.”

“Nggak seperti kamu,” katanya mengganti anda dengan kamu kepadaku.

“Hm.”

“Jangan hanya hm. Itu pertanda orang nggak jelas.”

“Yang jelas seperti Anda?”

“Ya, gue. Lelaki ....hm,” ujarnya seraya mengepalkan tinju. Kami yang hanya berdua di lantai dua bis itu, saling bersitatap.

“Apakah lelaki mesti bertato?”

“Ya. Sebagai tanda cintanya kepada wanita pilihan hati.”

Aku menelengkan kepala.

“Lihat ...Marni I Love You ....” ia memperlihatkan tato itu.

“Bukan main ....”

“Makanya jangan main-main denganku ....”

Aku bergumam.

“Dengan mempermainkan Mar,berurusan denganku.”

“Ah!”

Saat itu naik bergerombol orang ke lantai atas bis. Tak ada Mar.

Kami diam.

Bis ketiga kalinya berputar lagi. Aku tidak kunjung turun, dan menjumpai Mar di Monas. Kami akhirnya duduk berdua lelaki bertato itu. Saling diam. Menahan diri. Untuk apa bertengkar dan ada banyak pasang mata melihat? Sedangkan yang dipertengkarkan tak ada. Mar entah di mana. Aku tak tahu, dan tak mungkin bertanaya kepada lelaki menyebalkan itu. Aku  sama sekali tak takut kepadanya. Sama-sama laki-laki, sama-sama punya cinta.

Ha.

Aku menengok ke bawah sisi kiri. Kulihat gadis berkulit putih duduk di bangku kayu. Aku bergegas turun.

“Hm,” dengus lelaki bertato itu.

“Hm.”

Aku masih bisa segera mendekati bangku yang tidak kosong lagi.

“Mar ....”

Wanita itu tak bersahut. Ia diam dan menatap ke arahku dengan tatap heran. Karena ia tak mengenalku. Aku pun tak mengenalnya.

“Boleh aku duduk di sebelah anda?”

Ia menggeser duduknya.

Lama kami diam. Aku seperti pelo. Tak punya kata-kata. Siapa dia sebenarnya?

“Anda Marni ....”

Ia menoleh dan menyelidik ke arahku.

“Anda sedang menunggu lelaki yang mencintai Anda? Yang mestinya bertemu di bus tingkat yang baru kunaiki?”

Ia menelan ludah.

“Anda siapa?”

Aku menggeleng pelan.

“Orang yang tak anda kenal. Namun lelaki yang mungkin sedikit mengenal lelaki yang anda tunggu-tungguh itu. Lelaki gombal ....”

Gadis itu menunduk. Lalu pelan-pelan, terdengar sedu-sedannya.

“Dia seperti lelaki temanku bernama Te ... Teja Sukmana. Yang tak jelas. Seperti kabur kanginan. Hanya mengandalkan cinta. Namun tak bisa diandalkan bentuknya ....”

Aku ganti yang menelan ludah.

“Saya pamit,” kata gadis itu, berdiri, dan menoleh sesaat ke arahku. “Kita tinggalkan saja bangku itu. Biar kosong ....”

Entah kenapa, aku menurut. Berdiri. Lalu mengiringinya berjalan ke arah selatan. Menyusuri trotoar. Tak menghiraukan daun-daun kering kecokelatan luruh. Ketika sore mulai meredup. ***

Angkasapuri, 17/5

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun