PERSIS ketika di Poli Tikuus, tulisan saya mencapai angka 888 di Kolam Kompasiana. Alhamdulillah. Mengingat tulisan saya, praktis ndak ada yang dobel dan ditendang admin, dari genre yang campur-aduk gado-gado. Itu sebab, sempat meringis ketika ada komen tidakmenarik, dari akun bernama seperti mengingatkan saya pada seorang: artis.
Jebul itu akun tuyul. Meski ia tetap mampir di tulisanku lainnya – dengan enak nyebut: tidakmenarik. Titik. Apa mesti jengkel bin marah? Lha, saya ndak pernah berhubungan dengan tuyul, je! Bukan pula takut, tapi karena dari spesies beda. Alamnya berbeda alias lain. Malah saya, seperti sudah kapalen untuk soal orang yang tak sependapat denganku. Sejak 80 awal, saya sebagai nyamuk pers – orang yang biasa menggigit kalau ada yang saya anggap “mereka” tak benar. Untuk dituliskan.
Apa makna dari 888 artikel; politik, wisata, pendidikan, cerpen-puisi dan tulisan tentang foto atau kartun bagi saya? Sebuah area eksplorasi diri. Itu sebab, saya menyebutnya sebagai Kolam Kebersamaan Kompasianer. Di mana jika saya menawarkan kepada teman-teman untuk menulis secara keroyokan – untuk kemudian dibukukan – mereka segera menyambut: Iiikut, bang, pak, pakde, om, mas dan sejenisnya. Inilah yang membahagiakan saya, termasuk terbaru membedah buku (In) Toleransi – yang dikatapengantari Prof. Dr. Mahfud, MD. Seorang ahli hukum (Ketua MK), mantan menteri, toleran dan sahabat Gus Dur yang mendobrak intoleransi pada era Orde Baru di Kantor Kompasiana, Sabtu (18/3).
Jadi, menulis itu sebuah keajaiban bagi kita yang bukan siapa-siapa. Bukan anak Raja, bukan anak Presiden. Lha, wong presiden saja yang hemat saya hanya Gus Dur yang piawai menulis. Karena ia melahap semua karya sastra dunia sebagai modal. (Selain Bung Karno, tentu).
Di Kompasiana inilah, saya memberondongkan tulisan dengan berbagai genre. Meski pernah ada akun tuyul juga kayaknya, menyebut: duh TS (jurnalis senior, katanya) kok nulis di Kompasiana? Kan ndak dibayar.
500 an tulisan, kata Kang Pepih: Wah, saya sendiri belum separonya Pak TS. Itu sudah bisa jadi berapa buku. Jurnalis senior KOMPAS (waktu itu) menjadi teman diskusi intens. Bahkan ia sampai akan meminjami buku, bahwa dengan cara gratisan, sesungguhnya kita mendapatkan yang lebih. Ini pula yang coba saya yakinkan pada Kompasianer baru dari daerah yang sempat ragu untuk menulis di Kompasiana. Sebab, ia sempat bimbang mendengar seorang temannya gamang bila mesti nulis di Kompasiana. “Saya nggak boleh sok hebat. Saya kan baru mulai, ya Bang. Nyari fasn dolooo,” ujarnya kemudian.
Nah. 888 ...kan? Sebuah keberuntungan yang tak berhenti.