Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

7 Manusia Harimau Kompasianer ke Kota Baja Cilegon

23 Juni 2016   10:33 Diperbarui: 23 Juni 2016   10:42 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal di Pelabuhan Merak Rabu Siang (22/6) kemarin.

Berangkat dari sebuah ide kecil: Yuk, jalan-jalan ke Cilegon. Lontaran itu datangnya dari Muthiah Alhasany. Saya yang memang beberapa kali klutekan ke Kota Baja, terutama ketika Cilegon berulang tahun ketujuh belas, April lalu, mempertimbangan. Saya sudah sedikit melihat kemeriahan Cilegon Ethnic Carnival, Golok Day dan Sail to Krakatau kian tergelitik. “Minta saja di sana difasilitasi Kang Nasir!” lanjut Mbak Mut.

Jadilah, pukul. 07.11, Rabu (22/6) kami nongkrong di Stasiun Duri, Jakarta Barat. Sudah ada Arum, Tamita Wibisono, Isson Khairul dan menyusul Muthiah. Dan sebuah kereta api patas tapi kelas ekonomi membawa kami ke arah barat. Jalannya kadang kayak siput. Sehingga menyamankan memberitahu Maria Margaretha yang ngadang di Stasiun Serpong untuk gabung dalam trip ini, “Insya Allah jam sebelas lebih seperti tertera di tiket, kereta akan tiba,” kata Pak Kondektur muda, saat kuacungi tiket dan kutanyai perihal kedatangan kami dan akan dijemput Bang Iz yang datang dari Malingping, Lebak Selatan untuk bergabung acara trip kecil-kecilan Kompasianer ini.

Ibu-ibu penjual makanan di Kereta, turun
Ibu-ibu penjual makanan di Kereta, turun
Rada kacau juga jawaban sang kondektur. Mentang-mentang ini bulan puasa, apa? Jawabannya ndak eksak. Padahal, ini era PT KAI menepati janji-janjinya serta memperbaiki pelayanannya, mengingat BUMN ini sudah mulai untung. Tapi nikmati sajalah. Dan khas Kompasianer enam sosok ini mendominiasi gerbong keempat setelah Maria gabung. Sotoy-lah pokoknya soal perkeretaapian. Mungkin karena mayoritas adalah anggota Click, komunitas Commuter line.

“Kayaknya, mestinya, bisa lebih cepat sampai Merak,” kataku, dengan perhitungan jarak yang hanya seratusan kilometer dan membayar sebesar Rp. 8.000. Ya, delapan ribu rupiah. Gimana ngitungnya tuh, kalau naik kendaraan umum lain?

Glang-gleng-glang-gleng kereta kerap bergoyang-goyang menuju barat hingga melewat Stasiun Maja, Lebak, yang baru diresmikan, dengan rel ganda dari Jakarta. Dan pasca Stasiun itu, mulai tampak penjual emak-emak, menawarkan makanan khas wilayah yang konon daerah tertinggal Indonesia yang sepelemparan batu dari Jakarta. Ada nasi merah, sebungkus Rp. 3.000. Ikan wader sudah digoreng dibungkus tepung hanya Rp. 2.500/ plastik kecil dan dodol sepanjang 25 cm seperti penabuh bedug, cuma lima belas ribu rupiah.

trip-5-komp-576b556c937e6143048b4582.jpg
trip-5-komp-576b556c937e6143048b4582.jpg
Di Stasiun Serang para penjual trip pendek khas kereta ekonomi itu pada turun. Mereka seperti kompak. Sehingga penumpang pun kian menipis. Kami ke barat lagi, sisa 24 km-an. Dan ini, tanpa memberitahu Kang Nasir, Kompasianer yang baru menerbitkan buku Catatan dari Cilegon. Justru berhubungan dengan Bang Iz yang menyatakan sudah tiba di Pelabuhan Merak.

Nah! Insya Allah kondektur muda itu pun mendekati kebenaran. 11. 39 menit kereta pun merapat, dan kami turun. Meski sempat kebingungan. Karena ternyata mesti naik tangga yang terhubung dengan Pelabuhan Merak. Di mana di sini penumpang akan dikontrol, dan mesti membeli tiket peron. Siapa yang akan menyeberang ke Lampung? Kali lain, boleh juga, sih!

Stasiun Merak nan sempit
Stasiun Merak nan sempit
Jalan pun berliku ke luar dari Stasiun Merak, karena sempit dan memang pintu ke luar utama (main gate)nya ndak jelas bagi kami yang relatif belum pernah naik kereta api ke Merak ini. Sehingga ketemuan dengan Bang Iz berlangsung di dalam Dermaga, persis ketika azan dhuhur berkumandang. Potret-potret sebentar, dan duduk-duduk. Kepikiran juga. Saya yang sudah kenal dengan Kapala ASDP Merak, mencoba ke kantornya. Jawabannya, mereka tidak ada. Sedang rapat di Pusat (maksudnya: Jakarta) untuk menyambut para pemudik yang menyeberang di Pelabuhan tersibuk di Indonesia. Apa boleh buat.

Penjual makanan (puasa, lho) di Pelabuhan Merak (foto:Tamita)
Penjual makanan (puasa, lho) di Pelabuhan Merak (foto:Tamita)
Ketemu dengan Walikota Cilegon

Maka diputuskan untuk masuk ke Kota Cilegon, yang hanya berjarak 10 km-an. Lalu di mobil Bang Iz, kami melanju ke dalam kota. Lagi-lagi, keingetan tentang Kang Nasir, yang rumahnya hanya 3 km dari Pelabuhan Merak. “Ya, kami mau gerebeg ke rumah Kang Nasir,” teleponku. “Sambil ngopi-ngopi ….”

Derai tawa khas lelaki itu segera merebak, ketika kami benar-benar tiba di rumahnya. Lalu adegan kopdar dadakan itu pun seperti tahu bulat yang sedang ngetren. Foto-foto. Isson ambil inisiatif. “Kalau gitu, kita meluncur ke Kantor Pak Walikota aja, yuk!” ajak Kang Nasir atas usul kami yang malamnya akan menguntit acara Safari Ramadan Kota Cilegon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun