Berangkat dari sebuah ide kecil: Yuk, jalan-jalan ke Cilegon. Lontaran itu datangnya dari Muthiah Alhasany. Saya yang memang beberapa kali klutekan ke Kota Baja, terutama ketika Cilegon berulang tahun ketujuh belas, April lalu, mempertimbangan. Saya sudah sedikit melihat kemeriahan Cilegon Ethnic Carnival, Golok Day dan Sail to Krakatau kian tergelitik. “Minta saja di sana difasilitasi Kang Nasir!” lanjut Mbak Mut.
Jadilah, pukul. 07.11, Rabu (22/6) kami nongkrong di Stasiun Duri, Jakarta Barat. Sudah ada Arum, Tamita Wibisono, Isson Khairul dan menyusul Muthiah. Dan sebuah kereta api patas tapi kelas ekonomi membawa kami ke arah barat. Jalannya kadang kayak siput. Sehingga menyamankan memberitahu Maria Margaretha yang ngadang di Stasiun Serpong untuk gabung dalam trip ini, “Insya Allah jam sebelas lebih seperti tertera di tiket, kereta akan tiba,” kata Pak Kondektur muda, saat kuacungi tiket dan kutanyai perihal kedatangan kami dan akan dijemput Bang Iz yang datang dari Malingping, Lebak Selatan untuk bergabung acara trip kecil-kecilan Kompasianer ini.
![Ibu-ibu penjual makanan di Kereta, turun](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/06/23/trip-ibu-penjual-576b54d6ca23bd71251cb1db.jpg?t=o&v=770)
“Kayaknya, mestinya, bisa lebih cepat sampai Merak,” kataku, dengan perhitungan jarak yang hanya seratusan kilometer dan membayar sebesar Rp. 8.000. Ya, delapan ribu rupiah. Gimana ngitungnya tuh, kalau naik kendaraan umum lain?
Glang-gleng-glang-gleng kereta kerap bergoyang-goyang menuju barat hingga melewat Stasiun Maja, Lebak, yang baru diresmikan, dengan rel ganda dari Jakarta. Dan pasca Stasiun itu, mulai tampak penjual emak-emak, menawarkan makanan khas wilayah yang konon daerah tertinggal Indonesia yang sepelemparan batu dari Jakarta. Ada nasi merah, sebungkus Rp. 3.000. Ikan wader sudah digoreng dibungkus tepung hanya Rp. 2.500/ plastik kecil dan dodol sepanjang 25 cm seperti penabuh bedug, cuma lima belas ribu rupiah.
![trip-5-komp-576b556c937e6143048b4582.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/06/23/trip-5-komp-576b556c937e6143048b4582.jpg?t=o&v=770)
Nah! Insya Allah kondektur muda itu pun mendekati kebenaran. 11. 39 menit kereta pun merapat, dan kami turun. Meski sempat kebingungan. Karena ternyata mesti naik tangga yang terhubung dengan Pelabuhan Merak. Di mana di sini penumpang akan dikontrol, dan mesti membeli tiket peron. Siapa yang akan menyeberang ke Lampung? Kali lain, boleh juga, sih!
![Stasiun Merak nan sempit](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/06/23/trip-stasiun-merak-576b55ddd17a617a04d78b96.jpg?t=o&v=770)
![Penjual makanan (puasa, lho) di Pelabuhan Merak (foto:Tamita)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/06/23/dscn2127-576b5708f59673d50415368e.jpg?t=o&v=770)
Maka diputuskan untuk masuk ke Kota Cilegon, yang hanya berjarak 10 km-an. Lalu di mobil Bang Iz, kami melanju ke dalam kota. Lagi-lagi, keingetan tentang Kang Nasir, yang rumahnya hanya 3 km dari Pelabuhan Merak. “Ya, kami mau gerebeg ke rumah Kang Nasir,” teleponku. “Sambil ngopi-ngopi ….”
Derai tawa khas lelaki itu segera merebak, ketika kami benar-benar tiba di rumahnya. Lalu adegan kopdar dadakan itu pun seperti tahu bulat yang sedang ngetren. Foto-foto. Isson ambil inisiatif. “Kalau gitu, kita meluncur ke Kantor Pak Walikota aja, yuk!” ajak Kang Nasir atas usul kami yang malamnya akan menguntit acara Safari Ramadan Kota Cilegon.