Bertiga, kami beranjak dari Stasiun Jurangmangu, Bintaro. Dipesanlah mobil ojol ke TKP: Gereja St. Matius Penginjil, Pondok Aren. Pengemudi yang di sampingku, memberi gambaran ke mana arah Jalan Utama Satu. Hingga kemudian, ia iseng bertanya, "Mau melayat siapa, Pak?"
"Arswendo ...!" jawab Tamita yang duduk di belakang bersama Isson Khairul.
"O, itu. Orangnya lucu, ya. Saya sering ngeliat di tivi," sahut si pengemudi sambil membelokkan mobil ke kiri.Â
Mas Wendo, memang lucu. Dan karena kelucuannya itukah hingga ia terkenal? Bukan oleh pembaca cerpen, novel atau ulasannya perihal sosial-budaya saja? Tapi dari seorang pengemudi ojol. Entahlah.
Acara misa yang sudah berlangsung, pada sekitar pukul sepuluh pagi, kami ikuti di bagian luar gereja yang lapang, dan teduh. Kami bergabung dengan -- terutama anak buah dan kolega -- Â Mas Wendo. Harry Tjahjono, menyambutku. Ia menyebut sengaja nggak bolak-balik Madiun. Merasa punya firasat teman guyon-kerja-berdebat yang kondisinya memburuk belakangan takkan lama menahan sakit kanker prostatnya. Hingga semalam nungguin di rumah Mas Wendo, dan menangis terus-terusan. Baru tidur lewat tengah malam. "Aku ngunci pintu di kamar, biar nggak kelihatan orang lain. Lha, aku kan nek nangis lucu," timpal Mas Slamet Rahardjo Jarot sambil mengucep-ucek sekitar mata. Harry penulis skenario Langitku Rumahku film garapan Mas Slamet (meraih salah satu piala Citra FFI 1990).
Menangkap suasana "kepergian" Mas Wendo di tengah acara pemsembahyangannya itu, kami menemukan kedekatan dan kejenakaannya. Apalagi ketika Butet Kertaredjasa tiba dari Jogja. Ia, sebelum 90, adalah bagian dari tabloid Monitor. Menjadi koresponden media garapan Mas Wendo. Sehingga, dengan gayanya yang memang khas Jogjanan, ia menanyakan, "Mana bekas Monitor?" Dan kujawab, lha ya beberapa orang sudah mendahului Mas Wendo. Seperti Veven Sp Wardhana, Hans Miller Banureah, Remy Soetanzah dan Syamsudin Noer Munadi (Redaktur Pelaksana).
Isson dan Tamita gentayangan mengambil gambar. Aku ngobrol dengan awak Majalah HAI -- semua masih mengenaliku dan sebaliknya -- dan dari media kembangan Mas Wendo. Seperti Agus Langgeng yang menjadi Pemred Motor Plus. Dharmawan, Djoko (artistik HAI), Gusur geng Lupus, Aries Tanjung. Dan ketika dari kejauhan ada sesosok lelaki berkopiah agak tinggi bersidakap, aku menyeruak. Kuhampiri dan kutepuk dia: Marcel Hartawan, mantan anak buah Mas Wendo dan kemudian membuat Kabar-Kabari. Ia pula pertama ke rumah untuk mengajakku membuat demo tape acara infotainmen pertama di RCTI.
Mas Wendo dengan gayanya yang slengekan, ternyata orang baik yang mengular kebaikannya hingga anak buah dan para kolega serta masyarakat. Â Hingga kepergiannya dari alam fana ini. Tidak hanya di lingkungan dalam KOMPAS-Gramedia. Seperti dalam tulisanku kemarin: Mas Wendo, Kepadamu Kami "Mengabdi" https://www.kompasiana.com/thamrin-sonata/5d31bfa60d823022d807c004/mas-arswendo-padamu-kami-mengabdi?fbclid=IwAR1PixCKcqn7AV0eWJyxCKAILI_WJg2ZN6C97hfaVeqaHhqdPg_M_guODDU. Ini diceritakan Mas Slamet. "Ya, Alex Komang paling banyak dibantu Wendo. Alex iku kan wonge labil. Nah, Wendo sering dadi penasehate," ungkap aktor peraih banyak piala Citra dengan selingan bahasa Jawanya. Alex Komang, aktor peraih Piala Citra dan anggota Teater Populer-nya Teguh Karya. Keduanya sudah meninggal. Teater Populer sekarang ditangani Mas Slamet.
Tak berbilang-bilang orang datang dan berkabung pada siang sebelum pemberangkatan ke San Diego Hill, Karawang. Banyak kenangan dan kebaikan Mas Wendo seperti menyembul di antara kami. Hilman Hariwijaya penulis serial Lupus di HAI, membela-belai untuk bisa berfoto di depan peti jenasah sebagai ungkapan terima kasihnya. Meski sambil mengajakku agar nggak grogi. Karena sejak SMA, Hilman sudah menulis dan dibimbing Mas Wendo. Seperti untuk berani tampil dalam pelatihan menulis ketika bukunya menjadi best seller: Lupus, Kejar Daku, Kau Kujitak.Â