Kabar duka kali ini datang dari BNPB. Yakni dengan  Kepala Pusat Data Informasi dan Humas (Pusdatinmas) Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Sutopo Purwo Nugroho meninggal dunia di Guangzhou, China, Minggu (7/7/2019), pukul 02.20 waktu setempat atau 01.20 WIB.
Siapa Pak Topo, saya memangilnya begitu, sebagian orang akan mengenalinya pada sosok lelaki yang sebagian rambut sekitar dahinya menipis. Terutama saat ada bencana, di situlah ia akan nongol.Â
Lalu dengan tenang dan hati-hati, ia membeberkan peristiwa kebencanaan. Lengkap dengan data, termasuk korban. Karena jabatannya itulah dengan fasih diuraikan. Meski di tengah ia menahan sakit yang dideritanya.
Setidaknya tiga kali saya berjumpa dengan Pak Topo -- yang seperti dinyatakan Kepala BNPB. Bahwa wajah BNPB ada pada Pak Topo. Begitu identik, antara ia dan Kantornya. Dalam sebuah pertemuan tidak dalam kebencanaan secara an sich ia bisa bercerita panjang lebar.Â
Justru saat gagasan -- kalau tidak salah muncul darinya -- perihal waspada terhadap bencana dalam bentuk komunikasi dari Kantor Pak Topo. Persisnya program berupa Sandiwara Radio dari BNPB. Dengan mendatangkan penulis handal sandiwara radio dan para pemainnya. S Tijab dan Ferry Fadli, misalnya.
Rupanya, dalam acara nangkring  di Kantor BNPB kedua, saya bertemu dengan Effendi Gazali -- yang membuat Kata Pengantar buku saya. Effendi menjadi nara sumber dan Pak Topo tuan rumah berbincang akrab. Dan saat saya nimbrung, jadi seru perbincangan.  "Sandiwara radio efektif bagi orang daerah dan dekat dengan daerah bencana," ujar Pak Topo.
Dalam bahasa Effendi, lebih enteng. BNPB punya cara, memang meski jadul kedengarannya. Yakni dengan sandiwara dan disiarkan di radio. Persisnya sandiwara radio bertajuk ada bencana-bencananya dan silakan tafsir, mengingat radio adalah media dengan kekuatan suara.Â
Bisa disebut dalam bahasa ahli komunikasi Effendi Gazali, Ph. D, "Tokoh Brama Kumbara atau Mantili, bisa berbeda-beda dalam tafsirannya. Apa yang dimiliki dan dipikirkan kita tentang Mantili, tidak boleh diklaim kebenarannya seperti yang diangankan Pak Topo," tandas dosen UI penggagas acara di TV bertajuk BBM, Benar-Benar Mimpi itu.
Dalam usia yang terpaut sepuluh tahun dengan saya, Pak Topo punya banyak gagasan (di luar mengkomunikasikan kebencanaan yang telah maupun sedang terjadi). Karena ia berpendidikan lebih dari cukup. Seorang doktor yang pernah mengenyam pendidikan di UGM maupun IPB, perguruan tinggi mumpuni. Sehingga ia dengan luar kepala, membeberkan peta kebencanaan di negeri yang memang kerap terlanda.Â
Terutama di daerah pegunungan. Pak Topo, kelahiran Boyolali, Jawa Tengah ini belum setengah abad usia. Namun telah banyak kontribusinya -- untuk mengurangi korban di daerah bencana. Atau setidaknya, menjadi bekal bagi kita yang hidup di Indonesia yang dikepung laut dan deret pegunungan lewat keterangannya yang sesungguhnya sakit dengan stadium berat.