Nurulloh, COO Kompasiana menyebut Jumat sore di Villa Betawi, Cisarua, Jawa Barat itu sebagai kunjungan Admin kedua yang diadakan oleh Kompasianer di luar Kantor  di Palmerah. Ia didampingi empat orang jajaran pelaksana harian berterima kasih inisiatif pertemuan itu. Kevin, Dimas, Widha, dan Nancy.  Untuk lebih mengakrabkan dan memperbaiki Kompasiana ke depan.
"Walau lima jam dihadang macet untuk sampai ke sini," sebut lelaki berkacamata yang menggantikan Kang Pepih dan Isjet, dua COO Kompasiana sebelumnya.
Macet tetep Gayeng
Sub judulnya memang macet, meski belum week end, untuk memasuki kawasan Puncak Bogor-Cianjur hari itu. Sehingga acara yang digagas jam satu-an dengan makan siang bersama, terobrak-abrik. Molor. Lha, saya yang penginnya on time pun, molor hingga dua jam dari Masjid kawasan Universitas Juanda, Ciawi. Juga dalam pertemuan tak diduga. Selepas Jumatan, turun dari lantai atas masjid, eh ketemu Isson Khairul. Berdua naik angkot baru tiba di sebelah Pasar Cisarua setengah tiga di villa dengan kolam renang berair dingin.
Inilah pertemuan tak bermutu dalam soal jadwal. Sehingga Dizzman yang membeberkan sepuluh tahun mengabdi di Kompasiana dalam menulis, baru selesai menjelang maghrib. Ia terpaksa meringkas unek-uneknya sehingga kini beralih menulis pariwisata, sejumlah destinasi Nusantara dan luar negeri sudah tayang di Kompasiana. Plus ingin memamerkan foto-fotonya yang disebut sudah mencapai 5 terra. Membuat pusing untuk memilih. "Saya pengin majang foto-foto itu, entah kapan. Mungkin 20 Februari 2020," jelas penulis buku Manusia Bandara.
Jadi siapa yang menggagas, kenapa pertemuan 20 Kompasianer dengan 5 Admin Kompasiana dan mesti di kawasan Puncak? Ya, membuat macet dan tak bermutu, kesannya. Nggak usah meributkan. Sebab, singkong rebus, kacang rebus, ubi rebus serta jagung rebus menjadi pengantar perbincangan hangat yang masih suasana bulan Syawal 1440. Ini memang sebagai sekalian halal bihalal ceritanya. Yang menyeret Taufik Uieks yang biasa terbang ke berbagai negara. Atau R Windhu yang dewenan, serta sudah sore hari baru tiba. Â Jauh berbeda dengan teman-teman lain yang datang dari sekitar, semisal Okti Li (Cianjur).
Gelaran pengalaman menulis itu jelas amat dibutuhkan teman-teman Kompasianer dari Kawasan Cianjur, Bogor dan Jakarta yang datang bergabung. Apalagi ditambah gaya kesenimanannya--dengan rambut gondrong pula--tanpa mic bisa menguasai ruang yang menampung dua puluhan orang itu. Suaranya jelas, dan tandas. "Saya pernah menulis di blog dan dibayar sepuluh juta per bulan, tapi tetap Kompasiana menjadi pertimbangan terus menulis," ungkap lelaki yang hidupnya dari ngeblog. Dia pun menambahi pundi-pundinya dengan ngomong di  Youtube!
Makanan dengan hidangan sop, ayam goreng, lalap-lalapan plus sambal, tentu. Ini acara di Negeri Pasundan. Yang kerap disebut hidup dan makan enteu lengkap tanpa lalap dan sambal. Tapi kalau kurang hangat ketika udara mulai menyergap kesejukannya, ada minuman pala hangat yang dibawa Anissa Nurul perempuan Bogor.
Suasana menjadi hangat, sambil measih menunggu harap-harap cemas Dewi Puspa, yang ngojek dari Stasiun Bogor ke TKP, bermacet-macet pula. Lebih dua jam meski harus membayar enam puluh ribu rupiah dibayar cring. Â
"Nurulloh dan admin K mau datang, meski cinderamatanya yang akan dibagikan ke kita-kita ketinggalan," kata Muthiah Alhasany yang menjadi Ibu di acara ini. Itu sudah lepas waktu Isya. Saya yang berada di teras, menyambutnya. COO muda itu perlu meluruskan kedua kakinya sambil ngobrol ketidakmutuan kemacetan Jalan Raya Puncak yang sedang diperlebar.
Tamita perlu memberitahu, segera saja para punggawa Kompasiana untuk bicara. Mengingat ada Kompasianer yang tidak perlu menginap di empat kamar yang ada. Jadilah Nurulloh ngomong yang dihubungkan dengan pengeras suara yang dibawa Dizzman. Suaranya nggak sekenceng Yon sih. "Sekarang sudah ada 420 000 orang Kompasianer, dan itulah tantangan kita. Untuk terus membenahi," kata Nurul Uyuy nama akunnya di FB.