Aku garuk-garuk kepala.
"Ya, Bang, eh Pak RT," desis Romlah, masih dengan menundukkan kepala.
Persoalan izin itu, segera kuberikan. Itu hak dia untuk menentukan nasibnya. Dengan caranya. Â Meski setelah mereka pergi, aku mikir. Romlah akan pergi ke luar negeri. Bekerja. Aku? Menunggu untuk menonton konser Sebelas Januari.
"Lotong sayur setengah, dan pake tahu sama sambal, Bang?" sapa Mpok Ani, esokya aku sarapan ke warugnya di bawah pohon nangka yang rindang.
"Ya. Tapi bayarya ...ntar. Duitnye belon diambil."
"Ke ATM?"'
"Ya."
Mpok Ani mengibaskan tangan. Seperti ingin mengatakan: ah, gampang itu. Ia tidak seperti orang pada umumnya. Jika dagangan pagi-pagi jangan dihutang dulu. Bisa membuat rejeki seret.
"Gimana dengan Romlah?" tanyaku pelan. Mengudap pelan-pelan lontong yang diirisi cukup untuk dikunyah memasuki mulut.
"Nah."
"Apa?"