Secangkir teh hangat mengusir dingin di gerbong paling belakang kusedot dari pet gepeng. Meski goyangan di resto masih terasa. Dan kepala kutempelkan ke kaca hitam untuk menguatkan pandangan mata ke luar jendela. Seribu kunang-kunang berkejaran di luar.
"Ini uang kembaliannya, Mas ...."
Oh, suara nelangsa. Tidak, kuralat. Suara sejuk dan bening dari wajah bulatnya. Sepasang alis tebal dan gelung modern. Rambut dari sisi pelipisnya disisir ke belakang, membuat telinganya yang seperti teratai indah tampak.
"Ini pemandangan indah tak terkirakan. Ketika dingin menyergap beberapa jam di kursi empuk menghadap ke belakang di sisiku wanita menyebalkan dengan dengkurannya tak peduli pada keadaanya sekeliling," aku menggerutu sepanjang tadi berangkat dari Malang.
"Saya pesan lagi, boleh?"
"Tentu. Membuat Lala menambah point penjualan malam ini," sahutnya dengan suara lebih menghujam dalam.
Betapa. Betapa ia jujur kepadaku dalam waktu singkat. Menyebutkan nama, dan menyebutkan sebuah hasrat pada sandangan predikat yang dijalankan hingga dini hari. Ah, hingga pagi nanti tiba di Jakarta.
"Apa pilihannya kalau boleh saya TS minta tolong  kepada Lala?"
Ia menggigit bibir bawahnya. Matanya berputar-putar bak bintang kejora di langit yang tak bisa kulihat di ruang restorasi kereta yang membawaku dan Lala. Yang lain, semua penumpang yang kedinginan, apa peduliku? Rasakan dinginnya penyejuk ruang yang kelewat itu. Biarkan aku dan Lala melakukan perbincangan hangat.
"Mie seduh instan, Mas?" Lala menawarkan.
"Berdua dengan Lala?" tanyaku nakal. Namun kusimpan. Itu terlalu jalang. Lala tak pas diperlkukan seperti itu. Ia Lala yang tak mengingatkan siapa-siapa wanita yang pernha singgah dan bersliweran. Ia istimewa. Karena telah membebaskanku dari dingin kereta malam yang sebentar lagi memasuki Solo Jebres.