Mas Wendo: Rin, kamu ikut saja!
Begitu kata Arswendo Atmowiloto, dedengkot majalah HAI, awal delapan puluhan. Itu saat saya masih nyantrik di Palmerah Selatan 22, Kompleks Kompas-Gramedia belum seingar-bingar kini. Di mana berdiri Menara Kompas menjulang tinggi, dan di sisinya ada Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Rumah Kudus klasik dan adem.
Ikut apa? Ikut lomba nulis. Tema apa? Apa saja. Nah, nggragap nggak tuh? Baru di Jakarta dan getol-getolnya nulis fiksi (saya nggak nulis puisi di HAI) dan reportase masalah remaja, kok disuruh ikut nulis tema yang mengawang-awang.
Rupanya di balik itu ada makna yang bisa kuikuti hingga kini. (Sebutlah sebagai belajar tak kenal henti). Bahwa dengan mengikuti lomba nulis -- bukan genre dan passion yang kita minati sekalipun -- mendorong untuk disiplin.Â
Boleh jadi, karena ini menyangkut kerja di media. Mesti mengikuti tenggat waktu (deadline) dan ada hasil bukti. Kalau menjadi awak media, nyentrik (gondrong dan berjeans belel serta bersepatu sandal) tapi pulang dari tugas di luar tak membawa hasil dianggap: ala, gayanya, doang lu!
Berikutnya, tema apa yang dimaui panitia lomba nulis. Jika jauh melangit, "Itu sebagai tantangan. Mencari data dan berkejaran dengan waktu," ungkap Mas Wendo. Artinya, ya tantangan sebagai seorang penulis. (Berani nggak?) Sama suatu ketika saya ikut lomba besar tentang sosial-budaya yang juri lomba Arswendo Atmowito. Dan saya masuk sepuluh besar.
Apa mau dikata, saya "dikalahkan" juga oleh panitia (di dalamnya ada Mas Wendo). Hingga dalam sebuah acara dihadiri oleh orang-orang terkenal, ia dengan enteng mengatakan, bisa berkesan mempermalukan saya, tapi tidak. Itu Biasa saja. "Kamu kenapa nulisnya begitu Rin....bla-bla!"
Tak ada istilah kawan. Ia jujur, dan mesti mengalahkan saya. Persisnya saya nggak menang. Dan memang dalam rentang lomba itu tak saling main mata. Berkomunikasi pun tak.
Mengikuti lomba nulis, memang mengasyikan. Karena:
- Hadiah
- Nama akan terangkat
- Peluang berikutnya akan lebih menantang.
Oleh karena itu, Â meski bukan tema yang kita sukai, lomba menulis perlu dicermati secara seksama (waduh make bahasa jadul). Apa yang diinginkan oleh panitia -- secara spesifik. Siapa panitianya. Jika tercantum nama jurinya, kita bisa mencermati "apa kemauannya". Setidaknya, selera seorang juri yang bisa kita ketahui atau raba-raba.
Dalam lomba menulis fiksi tema energi dan lingkungan yang diadakan Persatuan Penulis Indonesia (PPI), begitu banyak alias membludak peminatnya. Namun, faktanya seuprit, istilah Yon Bayu -- pemegang sabuk Best Opinion Kompasiana 2017.