Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berdua "R" Duduk di Bangku Stasiun Bandung

27 Mei 2018   10:39 Diperbarui: 27 Mei 2018   10:47 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Minggu Pagi 76

Di Bandung kami bertemu. Ia menjemputku dengan mobil biru. Matanya tampak sayu. Gerakannya pun sulit untuk disebut lincah seperti biasanya.

"Aku lapar, Bang."

"Kita makan di mana?"

"Terserah Abang." Aku mengambil kemudi, dan mobil kuarahkan ke utara, Dago. Sepanjang jalan, ia lebih banyak diam. Tapi kepalanya disenderkan ke bahuku. Aku sesekali mengelus rambut panjangnya yang dbiarkan tergerai.

"Kita ke Puncrut?" tanyanya sembari celingak-celinguk.

"Ya. Kenapa?"

Ia menggeleng. Namun aku merasa, ia menyembunyikan sesuatu. Seingatku, ini tempat yang pernah kami singgahi setelah aku memotretnya di Taman Juanda untuk sample ia akan berperaga di Singapore.

Aku memarkir mobil, dan membuka pintunya. Sambil menuntun. Ia menatap ke atas, ke langit yang biru bersih.

"Ada yang salah?"

Ia kembali menggeleng.

"Tadi kupikir cukup di caf atau di Sapu Lidi."

Aku mengernyitkan kening. "Kenapa tadi nggak bilang?"

Ia menggamit, dan tangannya menyeruak ke ketiakku. Lalu, seperti mendorong melangkah. Kami mengambil tempat di pojok dan lantai panggung dari bambu yang dialasi tikar bagus. Nama warung itu tak kuperhatikan. Namun benar tempat yang pernah kami singgahi.

"Aku ikut Abang saja." R duduk sambil menyandarkan tubuhnya yang langsing, dan membetulkan rambut panjangnya.

Kami memesan masakan Sunda yang menjadi ciri lokasi mengudap di daerah atas dengan suasana hawa pegunungan.

Kami makan dengan lahap. Ah, aku yang lahap, karena dalam perjalanan panjang menggunakan kereta dari Stasiun Gambir.

"Makanlah yang banyak. Kamu kelewat kurus....."

"Oya?"

Aku mengangguk.

"Abang nggak suka, ya?"

Aku tertawa.

"Sebagai model, kamu mesti menjaga ...."

"Iya, iya Abang...."

Acara makan siang selesai, dan kami bercengkerama. Bicara apa saja. Tentang pernikahan bahkan.

"Itulah yang kutakutkan."

"Belum siap?"

R menggigit bibir bawahnya. Matanya menerawang jauh, ke lembah yang sebagian sudah ditumbuhi bangunan.

"Aku ....Eh, bentar." Lalu R bangkit. Dan ia menghampiri warung sebelah. Kemudian kudengar mereka berdua tertawa-tawa. Ia tampak senang sekali bertemu dengan gadis berambut pendek berkacamata hitam besar.

Apa yang dibicarakan keduanya, entahlah. Aku jadi memperhatikan lelaki sebayaku yang memperhatikan gerak-gerik R. Setiap saat.  

"Aneh," gumamku.

Ia pun sesekali melempar pandang ke arahku. Ketika bersirobok, aku seperti ada rasa kurang suka. Entah kenapa.

"Siapa tadi?" tanyaku ketika R balik masih menyisakan senyumnya.

"Tia."

"Yang laki?"

"Oh, itu. Dia ... Hendra."

Aku tak mengejar dengan pertanyaan lagi. Sampai kemudian aku berjalan dan digamit seperti tadi datang oleh R, setelah membayar makanan siang yang hambar ujungnya itu.

"Sebaiknya, Hendra ...."

"Kenapa?"

"Hindarkan. Ia bisa kotonjok ....habis."

"Ih...!" R setengah melengking, persis ketika kami sama-sama duduk di dalam mobil. "Kenapa dengan Hendra?"

Aku menggeleng.

Mobil aku jalankan pelan-pelan. R diam. Memberengut.

"Aku balik lagi ke Jakarta," dan aku mengarahkan mobil ke Stasiun Kereta.

"Abaaaang ...."

Aku mengerem mendadak.

"Plis....."

"Apa?"

"Kau jangan jeles gitu, dong sama Hendra...."

"Habis!"

R menggeleng. Meminta dengan tatapan sungguh-sungguh. Bahkan kemudian buliran airmatanya turun. Kecil melewati lereng hidung mancungnya.

"Ak....."

"Kau berat ke Hendra?"

Ia menggeleng.

"Kau kenapa?"

"Aku bingung."

Aku mengernyitkan kening.

"Aku ....."

"Ya, kenapa? Sejak tadi kau membuatku bingung. Jengkel."

Ia menggigit bibir bawahnya. MAnggut-manggut. Lalu menatapku setelah menghena nafas panjang.

"Aku telat datang bulan ...."

Kutatap sejurus, dan kemudian R kupeluk erat-erat. Kubimbing masuk ke dalam Stasiun yang sore itu mataharinya masuk melewati gerbong-gerbong yang diam dengan angkuhnya.

Aku slalu bermimpi tentang

Indah hari tua bersamamu

Tetap cantik rambut panjangmu

Meskipun nanti tak hitam lagi

Lamat-lamat dari dalam dalam Stasiun kudengar pengamen. Aku tidak memesan tiket ke Jakarta. Duduk berdua R di bangku Stasiun. Saat senja kemilau keperakan.

***

AP, 27/5/18

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun