Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Masa Kini Kencingnya Bagaimana?

22 April 2018   06:15 Diperbarui: 23 April 2018   04:38 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://megapolitan.kompas.com

 

Deret panjang guru memukul atau menghukum siswanya dengan kekerasan bertambah panjang. Dengan peristiwa di sebuah sekolah SMTA di Purwokerto, di mana guru tersebut diadukan ke polisi, masuk ranah hukum. Dan ini  menjadi klasik alias "biasa". Dengan berbagai alasan untuk atau cara menghukum siswanya. Siswa, "anak" didik sendiri pula.

Ini yang dari sisi mendidik kadang tak bisa diterima oleh siswa dan atau orangtuanya. Apalagi ditambah dengan cara yang super ngawur, mungkin dianggap sebagai cara bahwa ini dokumentasi dan bukan hoax era kekinian. Alias (seolah-olah) bisa dibenarkan. "Yang mengejutkan sanksi tindakan penamparan. Guru tersebut juga minta direkam. Awalnya video beredar di kalangan siswa lalu bocor," ujar Triwuryaningsih. 

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Korban Kekerasan berbasis Gender dan Anak ( PPT PKBGA) Kabupaten Banyumas, Triwuryaningsih, mengatakan sembilan anak dan orang tua masing-masing telah diminta keterangan oleh Polres Banyumas sejak Kamis (19/4) sore.

Jika menelisik jumlah siswa yang yang dihukum oleh guru tersebut, mestinya bisa dipahami. Bahwa itu, sesungguhnya sebuah hukuman yang "biasa" dan tak mengenal dendam pribadi atau hukuman secara tebang pilih. Lebih-lebih, disebutkan oleh PPT PKBGA jika para siswa itu hanya mengalami cidera ringan. Artinya, masih dalam batas kekerasan yang terukur.

Namun pihak salah satu orang tua merasa penghukuman itu berlebihan. Apalagi, dengan imbuhan direkam secara audio visual. Mentang-mentang ini eranya alibi? Bahwa kalau sebuah "peristiwa" membutuhkan gambar. Tanpa gambar, acap kita baca, itu adalah hoax. Abal-abal, palsu dan seterusnya.

Dikiranya, dengan perekaman gambar video (sesederhana apa pun termasuk menggunakan camera HP) tersebut akan menuai pujian. Dengan viralnya acara hukuman guru terhadap anak itu menjadi sebuah keasyikan sekaligus keterkenalan bagi guru. Diharapkan akan mendapatkan keuntungan secara psikologis. Material, tampaknya jauh.

Inilah potret salah-kaprah kita dalam memahami persoalan era visualisasi atau digitalisasi kini. Tak mengerti "video" sebagai alat yang bisa disalahgunakan dalam sebuah peristiwa di lingkungan pendidikan. Jika ada artis atau tokoh merekam adegan orang dewasa, kemudian dibocorkan oleh pihak mana pun, itu juga sensasi yang tak dipahami oleh orang yang lebih melek soal visual berbicara. Sama-sama tak ada tuntunan dalam tontonan tersebut.

Dari peristiwa di selatan Jawa Tengah itu, apa yang bisa diambil pelajaran bagi kita semua. Para guru, selazimnya lebih tahu soal mendidik. Bahwa tidak faham perihal "pengambilan gambar" itu, mestilah mulai belajar tidak mengikuti atau mencangkok para pesohor yang kerap perilakunya meleceng asal bisa tetap tersohor. Karena kepopuleran itu bagian dari pundi-pundi yang dibutuhkan oleh mereka. Kaum selebritas.

Maka, kalau dulu guru kencing berdiri dan murid kencing berlari, boleh jadi pada era milenial kini sudah usang. Mesti dengan "digambarkan dan atau divisualkan".  Repot. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun