Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Bulan di Atas Stasiun Kemayoran

1 April 2018   06:38 Diperbarui: 1 April 2018   23:47 2676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. foreversconcious

Cerita Minggu Pagi 71

Menyusuri Jalan Garuda ke arah barat, melintasi rel kereta saat Allahu Akbar terdengar, dan kaki mengajak berbelok ke kiri. Tak perlu ke paturasan, namun mengambil air wudlu. Di sampingku sudah ada orang yang pada tahap membasuh wajah.

Di tempat tak seberapa luas itu, aku menunaikan pembersihan kecil untuk menghadap Yang Maha Suci tiga rakaat. Adzan selesai setelah berdiri dengan kaki mengangkang cukup. Dan kuikuti tahiyyatul masjid dengan pelan. Persis salam ke kanan terdengar iqomat.

"Ya Rab, ya rahman ya rahim ...limpahilah rahmat kasih sayang dan ...rejekiMu Yang Maha Kaya ....amin." dalam hati, ingin aku dijodohkan dengan seorang wanita pada usiaku sudah cukup. Apa terus-menerus malam Minggu sendiri.

Rembulan dari arah belakang cahayanya kalah dengan lampu-lampu di sekitar stasiun kecil. Masuk ke dalam, dan melihat berderet orang menunggu kereta.

Sebagian wajah-wajah orang yang akan menuju Purwakarta dan stasiun-stasiun sebelumnya: Cikarang, Karawang hingga Cikampek dan kawasan Purwakarta tempat aku pernah singgah pada anak-anak muda membuat kendang dari kayu nangka. Sekian tahun lalu saat kaki ringan melangkah ke mana saja untuk sebuah pekerjaan. Mencari warta.

Senja yang sudah genap diganti malam di tempat agak lapang, dan kulihat si bulan telanjang bulat. Aku memesan es teh manis instan di gelas plastik sambil menunggu commuterline menuju Jatinegara.

Pengumuman bersliweran perihal perjalanan ke Bogor, Jatinegara atau Karawang. Aku menenggak air dingin manis, dan merasakan hembusan angin malam.

"Boleh saya duduk, dan anda menggeser ...."

Refleks aku menggeser tempat duduk besi dari rel. Sejurus kemudian menelengkan kepala, dan kulihat sesosok wanita matang berkerudung warna merah bata.

"Masih bisa membaca di keremangan seperti ini?" usilku saat si peminta tempat duduk itu dengan genggaman lembar-lembar entah berapa banyak. Itu mungkin keasyikan membaca buku di era digital kini. Seperti membaca dan mengebet-ngebetan Al Quran kata Emha Ainun Nadjib di TIM beberapa waktu lalu untuk sebuah acara launching majalah Horison secara online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun