Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengenang SNM, Redpel "HAI" dan "Monitor"

7 Februari 2018   06:01 Diperbarui: 7 Februari 2018   11:05 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syamsudin Noer Munadi (Dokumentasi Pribadi)

Bersama Bung Smas, saya diajak untuk pertama kali ke redaksi majalah HAI di Palmerah Selatan pada tahun 1982. Ia menyerahkan naskah cerbung (Cerita Bersambung) Cintaku Kena Tilang ke Mas Arswendo Atmowiloto. Saya juga menyerahkan tiga cerpen, hanya dua yang diterima, dan kemudian dimuat sekira satu setengah bulan berikutnya.

Sejak itulah sering bermain ke HAI. Bukan menyerahkan cerpen ke Mas Wendo, namun artikel remaja yang layak muat majalah remaja. Baik liputan, menulis sosok atau artis terutama musik, karena HAI lebih menitikberatkan ke seni ini. Yang menerima Syamsudin Noer Munadi, kemudian lebih kerap disebut Senem, karena ia membuat inisial SNM di tulisan-tulisannya.

Saya pun menuliskan profil SNM di Koran sore Sinar Harapan, sebagai redaktur majalah remaja bersama Mbak Retnowati -- kelak disunting wartawan KOMPAS, Mas Efix Mulyadi--, selain Aries Tanjung dan Mas Wedha (mereka berdua menjadi redaktur artistik HAI). 

Kesehariannya dia sering grudag-grudug, nonton film, meliput konser musik dalam negeri hingga musisi asing  semisal dalam Jak Jazz, hingga syuting sinetron sebelum mewabah sekarang dengan adanya TV Swasta. Juga meliput pariwisata ke daerah-daerah. Ia tetap membujang lama, ketika saya sudah berkeluarga. Pernikahannya saya hadiri bersama beberapa teman jurnalis dari kalangan Kompas maupun Tempo.

Dalam perkembangannya, saya bekerja di Koran Prioritas dan SNM menjadi Redaktur Pelaksana (RedPel) Monitor yang menghebohkan itu. Saya sesekali mengirim cerpen ke Nova, HAI dan opini ke Monitor yang redaksinya dipegang Veven Sp Wardhana, juga sudah meninggal. Termasuk Remy Soetansyah dan Hans Miller Banurea anak buah SNM di tabloid Citra. Mereka meninggal pada usia belum enam puluh.

Hingga suatu hari, ia pengin punya buku -- selain ia sesekali menulis puisi. Maka dikumpulkanlah tulisan-tulisan tentang televisi -- setelah Monitor ditutup karena Mas Wendo masuk ke Cipinang. 

"Judule Bulan Madu dengan Televisi", usulnya dari salah satu artikelnya. 

Dan aku menjadi editornya. Pemberi kata pengantar sineas Garin Nugroho dan endorsement Ali Shahab (sutradara) dan SM Ardan (Penjaga Sinematek) sedangkan perancang sampulnya Noor Smedi dari majalah Gadis.

SNM terbilang hidup sehat: tidak merokok dan tidak pula ngopi. Ia lebih memilih air jeruk. Makannya lahap. Oleh Bang Amarzan Loebis (wartawan senior TEMPO) Snm disebut tak pantang makan apa saja. "Itu yang tak bisa saya lakukan," katanya kalau kami ke luar kota untuk berbagai urusan. Termasuk menggarap proyek atau sekadar jalan.

Pergaulannya, sebagai jurnalis, cukup luas. Termasuk ketika diminta mengasuh satu halaman Koran Pelita atas permintaan Mas Purnama Kusumaningrat eks KOMPAS, ia mengajakku. Setengah tahun, di tahun 1991, hanya berdua kami mengasuh rubrik musik dan film. Kerja sendiri-sendiri, walau ada ruang cukup di bilangan Pancoran persis sebelah Patung Seven-Up. Di tempat ini kami akrab dengan senior semisal Syubah Asa (dari TEMPO) dan Askarmin Zaini dan Sudirman Teba (KOMPAS).

Bahkan ketika Bang Deddy Mizwar memasuki tahun imbas krisis moneter dan meminta Senem menjadi humasnya, ia mengajakku juga. Hanya sebentar kami bekerja di PH Demi Gizela dan kemudian berlabuh di PH Bang Ali Shahab, Focus Production. Kami bersama Yaya Sutara (wartawan Suara Pembaruan) dan Zainal Abdi (eks majalah Forum Keadilan) membentuk divisi non-sinetron.

Lumayan lama kami bergaul. Namun setelah ia menikah, dan lebih tingggal di rumah istrinya di bilangan Jakarta Pusat -- sementara rumahnya di Bekasi "ditinggalkan". Sehingga ia yang tidak berkerja secara organik, menulis untuk beberapa media. Atau sempat menjadi humas di IKJ. Juga ikut mengelola biro travel. "Sam menjadi orang rumahan. Mengajari anak-anaknya mengerjakan PR," kata Bang Amarzan, berulangkali.

Itu pilihannya, seperti kata Bung Smas yang juga meninggalkan menulis novel di Gramedia dan lebih memilih menulis skenario televisi. Rumah Bung Smas kerap disinggahi SNM. Hingga beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Didang mengerjakan sebuah majalah dan menyinggung Snm. Ujungnya, ia WA saya tengah malam mengabarkan "serangan jantung" yang menerpanya hingga menghembuskan nafas terakhir. Berita mengagetkan.

Selamat jalan, SNM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun