Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Eyang Pejuang di Hotel Oranye

22 Januari 2017   07:24 Diperbarui: 22 Januari 2017   07:44 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Minggu Pagi 22

MADE Wianta sudah setahun pindah ke Surabaya. Hampir seluruh kota itu sudah dijelajahi anak pindahan Denpasar itu.  Dengan bersepeda, ia melihat Jembatan Merah sampai Tugu Pahlawan. Namun anak kelas lima SD Gubeng itu paling senang jika sore hari berada di ujung Jembatan Suramadu. Jembatan panjang yang ujungnya menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura. Di sana ia puas memandang laut di senja hari. Memandang matahari yang membesar dan siap-siap masuk ke dalam laut.  

            “Di sini juga indah,” desisnya selalu. Ia sering rindu dengan tanah kelahiran. Terutama dengan pantainya, Pantai Sanur. Yang pada pagi hari matahari terbit bisa dilihat dengan tenang. Sebuah tempat yang bersebelahan dengan Pantai Matahari Terbit. Ah, namanya saja Matahari Terbit. Di mana banyak bukan orang Bali berburu dengan melihat matahari mulai muncul pada pagi hari.  

            Kali ini Made tidak sendirian di Pantai. Ia ditemani seorang lelaki tua, tetangganya depan rumah. Namanya Tirto Kartodirjo. Oleh Pak Tirto, Made dianggap cucu sendiri. Mungkin karena tidak ada anak dan cucu yang tinggal bersamanya. Ia hanya berdua Bu Tirto yang juga sudah sepuh. Usia Pak Tirto dan Bu Tirno tujuh puluh tahun lebih. Itu sebab kemudian Made memanggilnya Eyang Tirto.

            “Di sini, dulu tempat musuh berkumpul yang akan menyerang kita di darat,” kenang Eyang Tirto.

            Made yang duduk di sisinya mendengar dengan baik. Ia paling senang kalau Eyang Tirto bercerita tentang pertempuran Surabaya dengan Bung Tomo yang mengobarkan semangat perjuangan melawan Tentara Nica.

             “Kita sebenarnya kalah dibandingkan dengan mereka. Tapi kami tidak ingin dijajah, kita sudah merdeka,” lanjut Eyang Tirto. “Nah, itulah sebabnya kita melawan mereka. Sampai kemudian penurunan bendera di Hotel Oranye yang sekarang masih ada.”

            “Hotel Majapahit, maksudnya kan Eyang?”

            Eyang Tirto memegang tangan Made. Lalu ia mengelus punggung tangan anak itu dengan penuh kasih sayang.

            “Nah, sekarang Made ingin belajar semangat itu. Belajar dari masa perjuangan itu. Made akan main sandiwara.”

            “Ya, ya. Saya mengerti. Itu sebabnya kau ajak Eyang ke sini, kan?”

            Made tersenyum.

            Esok sorenya, Made ke Jembatan Suramadu lagi. Kali ini ia bersama teman-teman yang akan bermain sandiwara. Berlatih.

            “Di sini, kita berlatih. Ya, sambil membayangkan saat itu. Kapan-kapan kita bisa bertanya kepada Eyang Tirto.”

            Acara berlatih sandiwara itu berjalan menyenangkan. Mereka jadi bersemangat. Made salah satu yang berperan penting. Menjadi pemimpin dari pejuang-pejuang dalam drama anak-anak untuk memperingati Hari Kemerdekaan.

            Tanpa diduga, Eyang Tirto datang. Dan lelaki yang masih cukup sehat itu mengamati kegiatan Made dan teman-teman.

            “Kita mesti bersatu. Tetap semangat,” seru Made yang sudah hafal naskah sandiwara berjudul Perjuangan Arek-arek.

            “Walau kita seadanya ….!” sahut Waskito.

            “Walau persenjataan kita seadanya!” ulang Made.

            Lalu anak-anak berkumpul. Berunding dengan Made yang menjadi komandan regu pasukan yang tidak berpangkat. Karena pejuang-pejuang itu sesungguhnya belum menjadi tentara sebagaimana mestinya. Mereka adalah pejuang. Mereka dari sekitar Surabaya.

            “Kita sekarang berdoa, agar perjuangan ini berhasil,” ujar Made seperti dalam naskah yang ditulis oleh Pak Kunto, guru Sekolah anak-anak itu.

            Lalu mereka pun menundukkan kepala.

            “Perjuangan ini, karena kita tidak ingin dijajah lagi ….”

            “Amiiin ….”

            Anak-anak itu pun beristirahat. Hari mulai rembang petang.

            Saat itulah Eyang Tirto menghampiri, sambil bertepuk tangan.

            “Bagus, bagus …!”

            Anak-anak menoleh. Mereka mengernyitkan kening. Tidak mengenal sesosok lelaki yang bertongkat itu.

            “Perjuangan dan doa, namanya. Dan mestinya begitu,” sambung lelaki itu tak peduli dengan teman-teman Made.

            Made tertawa.

            “Ya, begitulah, Eyang Tirto ….”

            Baru Agus, Marto, Wardoyo, Salim da Kunto mengerti. Inilah orang yang disebut-sebut Made.

            Namun Made kaget ketika Eyang Tirto meletakkan tongkat, dan kemudian beperaga mirip apa yang dilakukan Made tadi. Seperti mengangkat dada, matanya berkilat-kilat.

            “Jangan pernah menginjakkan kaki ke bumi pertiwi. Kami tak sudi dijajah …cukup!” desisnya dengan mantap. “Bagi kami, lebih baik mati. Pilihannya merdeka … dan merdeka.”

            Made dan teman-teman bengong. Tidak menyangka kalau kata-kata yang diucapkan Eyang Tirto hampir persis seperti yang tadi diucapkan Made dalam latihan. Bahkan terasa lebih bersemangat.

            “…Yang, Eyang Tir ….”

            Lelaki itu menoleh ke arah Made. Lalu merangkul anak kelahiran Bali itu.

            “Aku jadi teringat dulu ….”

            “Teringat apa, Yang?”

            Eyang Tirto manggut-manggut. Lalu mengajak teman-teman Made untuk sedikit mendengarkan.

            “Saya dulu pun senang dan ikut drama. Malah sempat bermain ludruk segala,” ungkap Eyang Tirto. “Itu sebab, saya tadi tergugah.”

            Made merangkul Eyang Tirto.

            “Kalau begitu selain berlatih di sekolah sama Pak Haryono, kalau di sini, Eyang ikut melatih kami …,” usul Agus.

            Eyang Tirto tertawa.

            “Melatih apa. Nafas Eyang …hahaha ….”

            Mereka tertawa. Dan semuanya merangkul lelaki yang sebentar melupakan tongkat setianya yang dilepaskan tadi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun