Made tersenyum.
Esok sorenya, Made ke Jembatan Suramadu lagi. Kali ini ia bersama teman-teman yang akan bermain sandiwara. Berlatih.
“Di sini, kita berlatih. Ya, sambil membayangkan saat itu. Kapan-kapan kita bisa bertanya kepada Eyang Tirto.”
Acara berlatih sandiwara itu berjalan menyenangkan. Mereka jadi bersemangat. Made salah satu yang berperan penting. Menjadi pemimpin dari pejuang-pejuang dalam drama anak-anak untuk memperingati Hari Kemerdekaan.
Tanpa diduga, Eyang Tirto datang. Dan lelaki yang masih cukup sehat itu mengamati kegiatan Made dan teman-teman.
“Kita mesti bersatu. Tetap semangat,” seru Made yang sudah hafal naskah sandiwara berjudul Perjuangan Arek-arek.
“Walau kita seadanya ….!” sahut Waskito.
“Walau persenjataan kita seadanya!” ulang Made.
Lalu anak-anak berkumpul. Berunding dengan Made yang menjadi komandan regu pasukan yang tidak berpangkat. Karena pejuang-pejuang itu sesungguhnya belum menjadi tentara sebagaimana mestinya. Mereka adalah pejuang. Mereka dari sekitar Surabaya.
“Kita sekarang berdoa, agar perjuangan ini berhasil,” ujar Made seperti dalam naskah yang ditulis oleh Pak Kunto, guru Sekolah anak-anak itu.
Lalu mereka pun menundukkan kepala.