DENGKUL itu mencorong dengan terlingkar bungkus jeans hitam ketat. Begitu jelas dan kontras. Terlebih ketika ia, dengkul sebelah kiri itu menopang di atas kaki jenjang lainnya. Sementara, wajah dan sekitar lehernya, tampak lebih putih lagi. Mana mungkin tempurung dengkul melebihi bagian yang mungkin lebih dirawat dengan cream dan bahan-bahan perawatan wanita modern.
Ah, ternyata dengkul wanita berkaus merah itu benar-benar putih. Saat dengkul kaki kanannya diubah kedudukannya, dan menyilang di atas kaki jenjang kirinya yang mencorongkan bolong jeans hitam mode yang banyak dikenakan wanita tahu diri cantik dan berbadan sintal.
“Jadi sepasang dengkulnya, benar-benar putih,” pikirku yang berdiri bergoyang-goyang dan mengintip-intip berdiri di commuter line menuju Stasiun Jatinegara. Dari Stasiun Kampung Bandan.
Wanita muda yang kutaksir dua-tiga tahun dibawah usiaku 27 tahun itu asyik dengan gadgetnya. Senyumnya kadang menguak. Sesekali mengikik. Kadang ia berpegangan pada lengan wanita di sebelahnya yang sedikit kalah cantik. Mungkin temannya itu kalah cantikn lebih disebabkan tak kutemukan sepasang dengkul putihnya. Sebab, ia mengenakan celana dombrang longgar dengan atasan baju berbunga-bunga batik.
“Kita sebentar lagi turun, Sis ...,” ingatnya pada si dengkul putih berjeans hitam itu saat kereta berhenti dan sempat celingak-celinguk dan menelengkan kepalanya menyimak pengumuman dari suara saat itu di Stasiun Gang Sentiong.
“Okay ...!”
Duh, suaranya OK juga tuh si dengkul putih. Seperti makhluk sempurna untuk kukenali, dan bila perlu menjadi target pedekate. Selanjutnya, terserah apa maunya si dengkul putih.
Gleng-glang-gleng.
Kereta pun bergerak ke selatan menuju Jatinegara. Aku mulai cemas. Dua sosok cantik itu akan turun, dan aku belum sempat manuver apa pun. Sayang tak ada teknologi yang membuatku tersambung dengan gadget berlayar lumayan lebar si dengkul putih.
Dan, ia turun. Dan didampingi si cantik temannya yang dicuekin sejak Kampung Bandan, Kemayoran, Pasar Senen hingga Gang Sentiong. Nasib! Aku terpaku sebentar, dan segera menempati bangku kosong si dengkul putih. Berharap bokongku terbungkus jeans bisa meresap di tempatnya ia berpantat bulat bagus dan indah ia duduk itu. Tersambung.
Kletek.
Bersamaan dengan aku duduk di bekas tempat si dengkul putih itu, masuk bergegas seorang ... wanita muda dan hmm ...okay punya wajah. Setara dengan si dengkul putih. Lumayanlah ketika ia singgah dengan patatnya yang proporsional. Persis parkir di sebelahku, di bekas teman si dengkul putih.
Jadilah.
Jadilah aku lelaki beruntung. Meski ia persis di sebelah kananku segera asyik dengan gadget!
“Dunia dengan digital, memudahkan orang saling berhubungan. Dan menyulitkan serta menjauhkan pribadi-pribadi,” keluhku menyitir orang ahli digital.
Aku melirik sebentar dengan ekor mataku ke sebelah kanan. Tapi mana mungkin menemukan teks-teks yang ia tulis dengan kecepatan jari-jemarinya lentiknya bermain di layar sentuhnya. Ah!
“Anda TS, kan?”
Sebuah SMS masuk dan kubaca tanpa nama. Orang baru, salah kirim? Namun ia langsung menyebut namaku, inisialku. “Siaaaaal ...!” gerutuku.
Tapi isengku mengatakan, “Layani saja!”
“Kalau ya TS, kenapa?”
Senyumku, nakal. Sendirian.
“Berarti benar. Seorang pengarang gombal ...!”
Siake! Siapa pula ini.
Aku belum menjawab, pintu kereta terbuka dan masuk dari Pondok Jati seorang ibu muda. Bisa disebut ibu muda bukan seperti si dengkul putih karena ia menenteng seorang anak laki-laki cakep seusia sekira empat tahun. Maka refleks, aku hendak melambai ke arahnya untuk duduk di tempatku. Ini memang kebiasaanku tanpa perlu dipengaruhi pengumuman di commuter line, bahwa memberikan kepada orang-orang yang lebih memerlukan tempat duduk (Ibu hamil, penyandang disabilitas, orang membawa anak balita). Apalagi, ia membawa seorang anak.
“Nggak usah sok pahlawan. Duduk saja!”
SMS masuk, dan membuatku menempeleng keningku sendiri. Siake. Ia berada di sini pula rupanya. Dan, ah! Kenapa ia tak punya sifat kemanusiaan sepertiku. Untuk memberikan kesempatan kepada wanita penenteng anak laki-laki yang tampak asyik menikmati perjalanan yang tinggal sepotong karena Stasiun Jatinegara adalah akhir dari perjalanan commuter line dari Bogor yang melingkar-lingkar melewati Manggarai, Tanah Abang, Angke, Kampung Bandan, Gang Sentiong hingga Jati negara?
Stasiun Jatinegara pun sudah nongol, ditandai dengan deretan lampu-lampunya. Wanita pemegang gadget di sebelahku segera meninggalkan dan menyapa wanita yang menenteng anak laki-laki. Tampak begitu akrab, mesra dan ...sialan. Tak memberiku, sama seperti si dengkul putih, cantik dan anting-antingnya yang bergoyang-goyang mengikuti irama kereta warga.
“Aku bukan laki-laki beruntung ....”
Aku turun, dan membiarkan orang-orang bergegas untuk ke luar pintu Stasiun Jatinegara atau mereka yang akan melanjutkan perjalanan ke arah timur Bekasi sepertiku. Atau mungkin ke Manggarai.
Kletek.
Aku pun selonjor duduk di bangku panjang sepi dan dingin karena dari logam. Sunyi. Sendirian.
Ini benar-benar perjalanan singkat yang paling mengerikan. Menemukan sepasang dengkul putih berjeans hitam ketat tapi bolong persis di tempurung kakinya. Juga temannya yang turun bareng, sepadan cantiknya. Lalu orang iseng SMS yang tak kuketahui siapa gerangan dia! Pun ia tahu gerak-gerikku, dan sekaligus meneror: Nggak usah sok pahlawan. Anda TS, pengarang gombal.
Pengumuman bersliweran dari operator Stasiun Jatinegara. Sayangnya, bukan suara empuk yang sempat membuatku terlena*. Orang-orang bersliweran di depanku atau jauh di depanku sana. Apa peduliku. Sehingga mereka tampak seperti bayang-bayang baur. Orang-orang bergegas. Orang-orang dengan aktivitasnya. Entahlah siapa mereka.
Aku menghela nafas. Sesekali hanya bisa menundukkan kepala. Dan tak kutemukan apa-apa di lantai Stasiun Jatinegara itu, semisal uang lembaran merah yang mungkin bisa membuatku pesta dengan membeli minuman di gerai deretan di Stasiun ini. Setidaknya untuk mengguyur pening memikirkan wanita-wanita cantik yang baru saja ketemukan. Sekaligus SMS penggoda plus mengejekku habis-habisan. Duh!
“Mas TS ...suka galau, ya?”
Aku mengernyitkan kening. Tapi tak mencoba untuk mencari-cari di sekitar. Setidaknya kiri atau kanan, di mana suara itu menyerupai “Okay!” si dengkul putih. Pandanganku ke depan, lurus. Dan tetap menemukan orang-orang bersliweran dengan tidak fokus. Seperti bayang-bayang baur. Masih seperti tadi.
Aku mengernyitkan kening, ketika tangan kiriku diambil telapak tangan lembut, dan menyeretku. Ah, persisnya, menuntunku dan melabuhkan di ...dengkul putih kaki jenjang terbungkus jeans bolong di sebelah kanan, sendirian.
“Hai ....Mas TS....”
Glek.
Aku menelan ludah.
“Nggak usah bingung ...,” desisnya dibarengi senyum sekelas Roro Mendut, gadis yang menjilati ujung rokok untuk dijual kepada laki-laki yang membutuhkannya. Wanita berbibir basah yang membuat resah Tumenggung yang mesti mengajak duel Pronocitro laki-laki yang dicintai habis-habisan demi mendapatkannya.
Ia mengerdip-ngerdipkan matanya yang bagus, dan sepanjang kuperhatikan di kereta tadi asyik dengan gadgetnya.
“Kenapa bisa?”
“Kenapa Mas TS jadi pengarang gombal? Hayo!”
Ya, ya, ya. Lebih baik aku tak berpikir jauh. Lebih bagus, merasakan telapak tanganku yang digeser-geserkan telapak tangan empuk gadis di dengkulnya yang putih itu. Sambil merem-melek.
***
Angkasapuri, Puasa hari kesekian, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H