HARI Buku Nasional, 17 Mei kemarin bertebaran tulisan perihal perbukuan, dan “persoalan” buku negeri ini. Tak bisa ditampik. Kalau buku di negeri berpenduduk 257 juta jiwa ini masih mengenaskan. Lha, satu buku dikeroyok sepasang mata saja alias untuk dibacanya. Sebuah cermin, kita masih nelangsa untuk urusan membaca buku (fisik).
Kompasiana, punya 320 ribu Kompasianer. Dan berapa yang menulis serta kemudian punya buku sebagai bentuk karya tulis yang lebih monumental? Tak apa kalau memang pada kenyataannya Kompasianer sedikit yang sudah punya buku. Yang lebih penting, Kompasianer punya niat dan semangat untuk berlitarasi. Dan KutuBuku, sebagai komunitas yang lahir di tengah media warga Kompasiana menjadi pendukung niat ini.
Tjiptadinata Effendi, Rifki Feriandi, Maria Margaretha, Iskandar Zulkarnain, Much. Khoiri, Didik Sedyadi, Moch Nasir, Gaganawati, Tarjum, Atjih Kurniasih, Titin Sulistiawati, Taufik Uieks di antara yang sudah membuktikan ikut lahir dari rahim Kompasiana – lepas sebelumnya sudah menjadi penulis. Dan ke depan, akan ada nama-nama yang ikut mewarnainya.
Sederhana saja, sebenarnya bagi KutuBuku. Yakni mencoba ikut menggerakkan teman-teman Kompasianer yang ingin membukukan tulisan-tulisannya – terutama di Kompasia – agar ikut menyumbangkan pemikirannya dalam bentuk literasi. Mengingat angka pembaca di negeri ini masih payah. Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa menerbitkan sebuah judul buku dengan pencetakan sebanyak 2. 000 eksemplar untuk ukuran standar kita pun perlu was-was panjang. Mengingat setahun, buku tak habis. Dan artinya, rugi secara bisnis.
Maka, jika menerbitkan dengan cara indie dan jumlah terbatas serta pemasaran terbatas menjadi bagian yang mesti diperhitungkan bagi Kompasianer pada umumnya. Mengingat lingkup yang berkisar di komunitas dan media warga bernama Kompasiana. Hitung-hitungannya adalah siapa yang menjadi teman-teman pembacanya. Juga lingkungannya. Sebagai penikmat tulisan kita.
Namun tak perlu berkecil hati. Semua memang dibutuhkan perjuangan dari awal. Bukankah proses ini justru yang akan mematangkan penulisnya dalam menuliskan berikutnya? Bagi Pepih Nugraha yang menggawangi Kompasiana, (sebagai COO Kompasiana) ia sudah lebih dulu merambah di koran besar KOMPAS. Menulis sebagai jurnalis, menjadi editor dan menerbitkan buku buah pemikirannya. Sedangkan bagi sebagian Kompasianer, kebalikannya jalan yang dirambah: (baru) menulis di Kompasiana, dan kemudian mulai lancar menulis.
Gerakan membaca bagi siswa sekolah dari tingkat Dasar (sembilan-dua belas tahun) 15 menit sebelum jam belajar yang digerakan Kemendiknas, ini sebuah peluang dan sumbangan bagi Kompasianer. Di mana sebagian, tak bisa tidak adalah guru yang menulis di blog keroyokan ini. Mengingat Kompasianer mengetahui di mana berada dan bacaan apa yang semestinya dihadirkan.
Oleh karenanya, secara tidak langsung Kompasiana adalah kolam penggodokan dan KutuBuku mencoba mewadahinya. Menambal kekurangan bahan bacaan yang ada di negeri ini. Tak perlu berkecil hati, “Wah, saya belum pernah menerbitkan buku”. Mengingat sebagai penulis di Kompasiana, dan ada sebagian yang memang bertindak untuk urusan menerbitkan dan bagaimana membuahkan bahan bacaan yang dibutuhkan untuk lingkungannya.
Bain Saptaman, Akhmad Fauzi, Astutiana Mudjono, Cay Cay, Masluh Jamil, Majawati Oen, Titin Sulistiawati, Maria Margareta, Didik Sedyadi, Teguh Hariawan adalah guru-guru yang sudah di jalur yang benar. Tak sekadar berdiri di depan siswa dan mengajarkan kurikulum yang ada. Namun memberikan warna pemikiran yang lebih humanis. Ada yang bisa ditawarkan tak sekadar ilmu dan hapal-hapalan. Jika kelak membukukan buah pemikirannya.
Dan, tentu, tak guru-guru saja yang bisa menyumbangkan buah pemikirannya dalam bentuk buku. Mengingat praktisi, profesional semisal Kang Nasir, Laura Irawati, DesoL, Cucum Suminar, Mike Reyssent, Rifki Feriandi, Agung Soni, Giri Lumakto, dan Kompasianer yang produktif dalam mengejawantahkan apa yang mesti dibagikan ke masyarakat kita yang sesungguhnya masih membutuhkan. Mengingat penerbitan dari penerbit besar (mayor) hitung-hitungannya lebih besar dan kompleks. Sedangkan teman-teman Kompasianer tahu di lingkungannya. Dan apa yang mestinya disuguhkan kepada komunitasnya.
Inilah jawaban yang mesti diambil oleh Kompasianer dalam menggerakkan literasi dan masyarakat kita yang terpontal-pontal untuk urusan mengeja teks-teks yang sekarang berlarian, di abad digital. Mengutip kata-kata Pepih Nugraha dalam acara di Bentara Budaya (19/5) sebagai Nara Sumber, “Apa pun medianya, baik sekarang ada medsos dan era digital, good content menjadi pijakannya. Hal yang paling penting.”