Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan via Digital, Gerakan Budaya Baru untuk Negeri 17. 000 Pulau

28 Mei 2016   03:43 Diperbarui: 28 Mei 2016   08:42 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MenggantangAsap

Terobosan pendidikan, dengan geografi seperti wilayah Indonesia, barangkali dibutuhkan hal yang cerdas dan sekaligus cergas. (Ujian dengan berbasis komputer, sudah mulai kita lakukan). Mengingat kita sudah lama tertinggal, dari indikasi masyarakat kita belum membaca secara baik. Di mana UNESCO per 2012 menyebutkan, hanya satu orang dari seribu orang yang membaca buku. Ini masalah klasik. Daya beli dan ketersediaan materi ilmu pengetahuan yang minim. Meski dengan adanya “e-resouces” yang diadakan Perpustakaan Nasional sejak lima tahun lalu, siapa pun bisa mengakses ribuan bacaan secara gratis yang bisa disebut sumber elektronik tak berbayar sebagai andalan ke depan.

Juga komitmen BUMN HadiruntukNegeri bagi dunia Pendidikan Indonesia menjadi pelengkap lain. Mengingat program yang mendukung Taman Bacaan Masyarakat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) untuk menyediakan Pustaka Digital yang disingkat PaDi di 1. 000 lokasi wilayah negeri ini. Tak pelak, “PaDi merupakan inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan yang menghadirkan akses gratis bagi seluruh masyarakat terhadap pustaka.”  

Dan adanya teknologi informasi (TI) akses ini, sudah selazimnya kita memperlakukannya secara maksimal untuk pendidikan warga negeri. Singkatnya pendidikan dengan basis internet layak dijadikan tambahan percepatan pendidikan kita. Mengingat angka dan aspek-aspek ekonomi negara yang belum maksimal – di samping persoalan mental tak mendidik itu.

Hiruk-pikuk data pengetahuan dari Wikipedia, misalnya,  baru sebuah data. Di mana ia bisa disebut telah membagi pengetahuan. Mengingat pendidikan, juga mebutuhkan tahapan-tahapan dan “bimbingan”. Sebuah keniscayaan. Selain, ekonomi yang berbeda antara daerah Indonesia Barat dan Timur, yang njomplang. Sehingga gawai, justru bisa kian mengangakan jurang pemisah: modernitas dan kemunduran. Satu-satunya jalan, diberi kesempatan agar gawai (dan isinya) menjadi alat percepatan pendidikan tak ansich.

Huraka Edu, sudah benar di jalannya yang diambil. Bila sudah “menyediakan” diri dengan Sumber Daya Manusianya dan sistem yang ditawarkan. Sehingga dari mana warga negeri ini bisa belajar, di mana pun dan kapan pun. Meski dengan kelemahan-kelemahan belum tersambung dan meratanya fasilitas teknologi berbasis ini. Lalu keterbatasan-keterbatasan yang berkait dengan masalah apa yang bisa ditawarkan secara universal bagi keberagaman Indonesia kaya. Meski ujungnya, tetap kedisiplinan untuk belajar cara E-Learning.  Mengingat konsen HarukaEdu menyediakan pendidikan berkualitas yang dapat diakses semua orang melalui internet – dengan mengunduh video, audio, transkrip, dan presentasi dalam Learning Management System (LMS).  “Perlu kedisiplinan untuk menuntaskan studi,” tandas Novistiar Rustandi, CEO dan  salah seorang pendiri HurakuEdu dalam acara nangkring Kompasiana, 30 April 2016.

Kita jadi mengevaluasi. Dan kita akan menempuh jalan – yang memang masih berkelok – dan sudah semestinya bisa membimbing ke jalan yang lebih berarti. Kita tak menggantang asap dengan angka-angka jumlah penduduk terbesar keempat di dunia sebagai modal. Proses ini sebagai kapital/ modal budaya, ekonomi, finansial dan simbolik (meminjam konsep kapital Pierre Bourdieu, 1986). Meski dalam soal pendidikan, semisal kita menjebol tembok empat dinding yang tak mengenal batas. Ini bisa kita pinjam kalimat bertenaga budayawan Goenawan Mohamad:   “Menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.”

Pendidikan dengan berbasis TI, rasanya baru kita rambah. Kelak ada perbaikan seiring perkembangan zaman dan teknologi bagian dari perjalanan budaya bangsa ini untuk semesta alam raya bernama Indonesia. Semoga. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun