Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasianer Ini Menulis Cerpen Smansa Majalengka

3 Mei 2016   08:46 Diperbarui: 3 Mei 2016   09:23 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kumpulan cerpen Didik (dok. TS)

Proses kreatif pengarang bisa banyak macam cara. Ada yang didapatkan dari sepenuhnya mengkhayal. Kerap pula kita dapatkan dari sebuah kisah nyata yang kemudian dikenal sebagai true story. Mana yang benar? Keduanya sah. Boleh. Bahkan ketika dua sisi itu dicampurbaurkan.

Lalu, menjadi tidak penting antara hasil imajinasi, yang kata Albert Einstein bahwa ini lebih penting daripada “ilmu”, seperti bertabrakan? Ya, tidak juga. Ringkasnya, dalam sebuah karya, terutama prosa atau persisnya lagi cerita pendek, boleh dengan macam cara. Karena, hakikatnya atawa yang esensial adalah karya itu sendiri ketika berdiri sebagai sebuah cerpen, sebuah karya kreatif. Enak dibaca, senyum-senyum, mengikik, menyentuh dan ada sesuatu yang didapatkan pasca pembacaan terhadap karya itu.

Didik Sedyadi, menyentak saya ketika pada awal-awal ia menuliskan cerpen dalam bentuk request ini – di samping ada 4 cerpen dewasa dalam buku ini. Yang lebih kurang ajar, permintaan itu datangnya dari anak didik Didik sendiri. Ya, siswa, terutama perempuan (dan berjilbab). Dan itu dilayani dengan baik oleh Didik – untuk tak menyebut sang pendidik ini “gila”. Jadilah sehimpunan cerpen a la Didik. Cerpen request, berdasarkan permintaan.

Di sinilah ujian itu yang sesungguhnya. Apakah cerpen-cerpennya itu memenuhi syarat sebuah cerpen – apa pun jenis atau genrenya: pop,  keluarga – yang ditulisnya. Sayangnya, jawaban saya bisa mengecewakan bagi kritikus sastra serius. Cerpen-cerpen ini asyik, pop, menghibur dan membuat kita setelahnya manggut-manggut. Takzim.

Pada cerpen-cerpennya, kita selalu mendapatkan kejutan. Semisal DosenSimpanan, judulnya saja sudah menggelitik. Betapa seorang Rozica dibuat takluk, setelah ia habis-habisan mengelak tentang dosennya, yang ia anggap nggak pas untuk memacarinya. Atau MaafAinun, KauCintaKetigaku. Ainun kaget demi kartu OSISnya yang ada di tangan Latief:

“Kenapa Kak?”

“Nggak tahu kenapa Aini, tapi rasanya aku inginmenyimpannya. Aku jahat Aini, aku tahu itu salah. Tapi aku nekad. Ada bagusnya juga sih, suatu saat memang aku berniat mengembalikannya. Sekarang saatnya.”

“Oooo ...!” (halaman51)

Dialog-dialognya bernas dan khas remaja. Karena ini memang 14 cerpen yang beraroma remaja, anak-anak SMA. Dan pengarang dapet menangkapnya dengan baik. Artinya, ia memang (bisa ada) di dalamnya. Menyuruk dan tidak berjarak. Persisnya, Didik mampu mendalaminya tanpa jatuh pada hal-hal – yang bisa norak banget. Di sinilah, keterampilan seorang pengarang fiksi terasakan dan terasah-kan.    

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun