Nur Rohim, menitikkan airmata saat ditanya asal-usulnya.
SOSOK bandel, anak orang mampu, dan sekaligus anak jalanan menggiringnya menjadi seorang Pendiri, Kepala dan Pembimbing Sekolah Master. Ya sekolah Masjid Terminal di Depok, Jawa Barat yang sepelemparan batu dari Universitas Indonesia, perguruan tinggi paling terkenal di negeri ini. Dengan daya tampung 2. 000 orang dan latar belakang tak jelas: gelandangan, nomaden, pengamen, pencopet, pengguna narkoba, orang gila hingga terbaru digeledah Polisi karena dianggap ada pelarian dari Gafatar masuk ke kompleks sekolah ini.
“Ini kan mestinya tanggung jawab Pemerintah,” katanya terhadap para murid dan orang-orang tak jelas yang ditampung di Kompleks Sekolah Master di KOMPAS TV, Januari 2016, dalam liputannya.
Nur Rohim, kelahiran Juli 45 tahu lalu, sesungguhnya tak sedang menyalahkan Pemangku Kepentingan Negara di wilayah Kota Madya Depok, Jawa Barat. Karena ia sadar dari apa yang telah diambilnya sebagai risiko mendirikan Sekolah Master yang berada di impitan Terminal bus/angkot, Stasiun Keretaapi Depok Baru, dan kepungan toko serta mal. Sehingga lahan Sekolah “miliknya” dibongkar dan diambil alih sekitar 2.000 meter persegi tanpa penggantian memadai seperti janjinya “mereka”. Hanya karena ia tak memiliki sertifikat, meski oleh Walikota dulu disaksikan atas kepemilikannya yang sah. “Saya waktu itu berpikirnya, ya untuk sekolah, bukan untuk saya. Kalau diperkarakan secara hukum, bisa menang. Tapi mesti keluar ongkos yang besar. Di negeri ini kan selalu begitu kisahnya,” katanya. Yang membuatnya berang, karena lahan itu dianggap lahan seksi untuk kemudian dijadikan lahan bisnis dan komersial.