foto: dok Namin AB Ibnu Solihin
GURU, kerap disebut untuk digugu dan ditiru. Maka ketika guru kencing berdiri, murid “niscaya” berlari – meniru apa “kata perilaku”nya. Dan tugas guru sehari-hari, tentulah menularkan ilmu sekaligus attitude-nya tak lepas dari sudut pandang murid. Dan guru menjadi plus kalau ia bisa menulis, bagian dari kreativitas-nya di samping berada di hadapan murid-muridnya.
Di era digital kini, mestinya menjadi mudah guru dalam menulis. Guru “berstatus” di akun, facebook, twitter dan lainnya adalah bentuk “tulisan” juga. Bisa kapan pun dan dari mana pun. Dan, tentu, seturut dengan nilai-nilai yang diembannya. Beratkah? Selazimnya tidak. Bagaimanapun, bekal sudah dipunya dan pengalaman selama mengajar – nota bene berhadapan dengan “cara-manusia-manusia” yang dididiknya merupakan bahan menulis dan berkreativitas secara melimpah-ruah.
TWC , Teacher Writing Camp yang sudah memasuki tahap kelima, sebuah wadah dan atau jembatan bagi guru untuk mewujudkan itu. Program singkat akhir tahun 2015 lalu, atawa TWC 5 bahkan menjadi sebuah kenyataan dengan menerbitkan “Guru Kreatif di Zaman Digital”. Ini sebuah bukti konkret bagi guru sekaligus meninggalkan era hanya bisa “mengajar” di depan siswa-siswanya. Apalagi, buku ini berISBN – International Series Book Number . Menjadi sah “warga dunia”. Sebuah karya yang masuk dalam catatan di Perpustakaan Nasional RI.
Perihal TWC sendiri lebih memompa atawa men-support para peserta. Bahwa ada ilmu yang “diajarkan”, tentu tak bisa tidak. Apalagi selama ini didatangkan para penulis atau praktisi terkait: pengarang, jurnalis, editor, penerbit ke camp di Universitas Negeri Jakarta, bisa mencengangkan. Semisal nama A. Fuadi (Negeri 5 Menara), Iskandar Zulkarnain (dari Kompasiana, media warga), Rifki Feriandi (penulis buku Cara Narsis Bisa Nulis), hingga Onno W Purbo (pakar IT). Dan kebetulan saya pernah didapuk untuk ikut “ngomong” di TWC3 dan TWC 4, tahun sebelumnya.
Ada kegairahan para guru yang datang ke TWC dari berbagai daerah tersebut. Karena mesti meninggalkan rumah-keluarga serta mengeluarkan dana selama “menimba ilmu”. Ilmu gerak cepat perihal dan seluk-beluk menulis itu pun pada galibnya dipulangkan kepada masing-masing peserta. Karena sesungguhnya pula, menulis itu sendiri pun sebuah tarikan dalam melawan segala godaan penghadang berikutnya: kemalasan dan segala alasan yang bisa dikemukakan.
Sedangkan mengenai isi buku ini, merupakan pengejawantahan dari “Ilmu” yang disadap hanya berbilang hari itu. Ini semacam pembuktian. Bahwa hasil dari sebuah penggodokan, tentu, bukti diri. Karena ketika guru menjadi kreatif sesungguhnya bisa disimak di era digital ini yakni dengan menulis dan ada jejaknya. Nah, saat dalam bentuk buku fisik dan ada barcode akan lain rasanya.
Anita Kusmira dan kawan-kawan membuktikan bisa. Ini bisa disimak melalui testimoni yang dimunculkan di sini. “Tidak sia-sia pengorbananku untuk mengikuti acara TWC 5, dan menyesal mungkin itu kata yan tepat bagi mereka yang tahu acara ini tapi tidak bisa mengikutinya. Betapa transfer ilmu yang banyak …,” jelas Pamuji Raharjo.
Atau: “Andai saja pelatihan yang lain seperti ini, insya Allah pendidikan akan maju,” kesan Atjih Kurniasih. Disambung oleh Mualip, “Dari pelatihan TWC 5 ini banyak inspirasi yang diperoleh. Di antaranya adalah menulis dan menerbitkan buku ternyata mudah.”
Maka melalui tulisan para peserta, bisa dari berbagai sudut pandang masing-masing bisa kita temukan: “Aku Percaya rencana Indah Tuhan” atau “Life is a Choice” serta “Perubahan Paradigma Pendidikan” hingga “Strategi Pembelajaran di Era Digital” menjadi wakil dari hasil peserta TWC 5. Ini yang digenapi oleh Atjih Kurniasih “Jumpa Kembali TWC untuk Keduakalinya” dilakukan dengan niat kuat.