Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tjiptadinata Effendi dalam “Sehangat Matahari Pagi”, Apa Saja Isinya?

20 Desember 2015   17:53 Diperbarui: 20 Desember 2015   18:48 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KOMPASIANA dalam perhelatan Kompasianival Indonesia Juara sepekan lalu, ada catatan kecil yang bisa saya tuliskan di sini. Jika kompasiana berbasis tulisan, maka kehadiran buku bertajuk “Sehangat Matahari Pagi” menjadi niscaya untuk sebuah catatan unik dan punya arti juga.

Meski berlabel media warga – notabene bukan media konvensional berbasis cetak – dan berserak ditulis oleh warga, kompasianer, ini media nyata juga. Dan kehadiran buku cetak, konvensional, menjadi real. Ada. Dan yang menarik ditulis oleh warga itu sendiri.

Dengan subyek seorang kompasianer bernama Tjiptadinata Effendi, buku Sehangat Matahari Pagi, selanjutnya SMP, bisa diurai sebagai sebuah catatan. Di mana subyeknya, kebetulan, Kompasianer of The Year 2014 yang sudah dikenal di Kompasiana. Bahkan, sebagian oleh kompasianer yang telah membuktikan “siapa” Tjiptadinata Effendi, ketika masing-masing menemui dengan caranya. Di sudut-sudut negeri ini maupun negeri di luar.

SMP, Menjadi Kolam Nyata

Jumlah penulis dalam SMP, 64. Bentuknya esai, opini, surat dan puisi. Sedangkan yang “hanya” berkomentar pendek, 22. Meski yang menjadi sasaran tulisan seorang (baca: Tjitadinata Effendi), namun menimbulkan beragam catatan sudut pandang para penulis. Tak melulu perihal arti seorang lelaki berusia 72 tahun tersebut. Dalam kekaguman kosong. Ada argumentasi yang bisa diterima nalar.

Apalagi, ketika, sosok Tjiptadinata Effendi hadir di Kompasianival. Di mana ada perjumpaan tak lagi secara teks, namun sudah kontekstual, nyata dan real. Sah.

Dalam buku SMP, Tjiptadinata dihadirkan sesuai dengan apa yang menjadi “pikiran” para penulisnya. Plus pengalaman bersinggungan dengan Tjiptadinata Effendi. Sehingga muncul: Ada Apa Pada Tjiptadinata Effendi. Yang ditulis Abenggeutanyo: Tak ada sesuatu yang ambisius ingin diraih di Kompasiana ini selain berbagi ilmu dan pengetahuan serta pengalaman yang bermanfaat untuk kita meski kadang menimbulkan pertanyaan, mengapa Tjiptadinata sering HL atau Highlight, bukan si ini atau si anu dan seterusnya.

Atau ini: Tapi Pak Tjip tidaklah demikian. Ia menceritakan apa yang ia lihat atau alami dengan jujur seperti apa adanya. Ia bagaikan berada di kotak kaca transparan dengan banyak orang menontonnya (Suyono Apol, halaman 157).

Juga berikut: Pak Tjip, Andalah sang burung camar Jonathan itu!. Sekaligus: Pak Tjip, Andalah kepolosan, kebersahajaan kerendahan hati itu. Dan ditambah: Pak Tjip, Andalah keberanian dan kejujuran itu. Disempurnakan: Pak Tjip, Andalah saluran berkah-berkah yang berkelimpahan itu! (Teha Sugiyo, halaman 160).

Bahkan, ada semacam “kesamaan” dengan “Antara Enlightenment Tjiptadinata Effendi dan pesan sufi Imam Khomeini, seperti dicatat Fajr Muchtar: melalui Makna pencerahan dan Langkah Menuju Pencerahan. Catatnya, cukup jelas: “Niat berawal dan pikiran. Pikiran melahirkan niat. Niat akan diikuti oleh tekad. Tekad akan diikuti oleh kerja keras.”

Tjiptadinata menjadi terbuka. Tanpa sekat, dan menjadi teladan di sini. Bisa disimak dari tulisan “kesadaran” lain dari Adhieyasa Adhieyasa:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun