“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas,” Bung Hatta.
TAK terpermanai. Memasuki blog keroyokan di Kompasiana ini, ternyata menjadi konkret. Bukan dunia abu-abu atawa maya yang kerap didengungkan. Karena para Kompasianer itu ada. Dan menjadi bersahabat, termasuk: kopdar, jalan bersama, makan dan foto-foto. Ada sesuatu yang guyub. Sehingga ketika memantik ide untuk menulis keroyokan, menyembul dan berhamburan di antara para sahabat Kompasianer ini. Untuk dijadikan sebuah buku sebagai bagian literasi – apa pun jenis dan genrenya.
Lalu himpunan dalam rangka negeri ini berusia tujuh puluh tahun merdeka, berkibarlah tulisan para Kompasianer. Teman-teman berbagai ras – sementara menggunakan kosa kata ini – bagai menjadi bagian dari bangsa ini. Latar belakang mereka yang ada di berbagai belahan, termasuk di luar negeri, menyeruak. Mereka yang pendidik, dosen, peneliti, mahasiswa, jurnalis, penulis, profesional dan bahkan ibu rumah tangga pun punya cerita yang ingin dikumandangkan dengan caranya. Merefleksikan negeri ini yang sudah tujuh puluh tahun merdeka, berdiri.
Beragam.
Sungguh tak terpermanai, tidak terbayangkan. Para Kompasianer ini seperti ikut mewarnai Negara yang kondisinya seperti sekarang ini. Apa pun kondisinya. Seperti apa saja pun sudut pandangnya, ini jenis sumbangsih. Bahwa di balik keterkoyakan, ada asa yang mengemuka dan menyembul di negeri ini. Atau setidaknya ada masukan, terutama kepada para mereka yang menjadi pemimpin, stake holder, para pengambil keputusan penting di kekinian. Pemimpin Negeri di Mata Anak Bangsa.
Indonesia, Seandainya menyiratkan sebelum negeri ini berdiri dan era modern yang dimasuki tanpa bisa dicegah. Bahwa modernitas juga tak mesti tidak menengok kekayaan sendiri: Mencari Jejak Negeri Maritim. Sehingga perlu Emil Kita Tujuh Tahun, sebuah tawaran untuk menyongsong tatanan Negara mendatang, dari daerah. Persis seperti harapan perihal daerah wisata yang punya masa lalu hebat untuk diunggah dan Mewujudkan Tempino Sebagai Destinasi Wisata sebagai destinasi bagian negeri.
Apa yang bisa disumbangkan para Kompasianer, bisa berarti apa saja dan ringan-ringan saja. Walau mungkin Arti 17 Agustus bagi Saya yang sudah berusia sama dengan negeri ini. Yang dalam menata pinggiran jalan saja masih belum piawai, masih terbata-bata: Merdeka di Jalan Raya? Ngimpiii.
Padahal, negeri ini negeri yang perlu untuk di-Selamatkan Indonesia. Kita tak boleh tercerai-berai hanya disebabkan perbedaan. Sama dengan Merdeka di Mata Pancasila. Plus perlu Merawat Tenunan Bernama Indonesia. Mengingat Indonesia dalam Langkah ke-70 Tahun selayaknya ada gerak maju, bersama dan padu. Hingga Dunia Memandang Indonesia Setelah 70 Tahun Merdeka menjadi positif. Ya dalam pergaulannya, negeri ini semestinya ada Diaspora Membangun Indonesia dari Luar.
Serenteng sumbangsih para Kompasianer dalam bentuk tulisan menjadi niscaya. Meski kecil, ada jejak yang bisa ditengarai sebagai sebuah literasi yang tak lapuk, apalagi ganjil. Mengingat para Kompasianer ini nyata ada, dan menuliskannya. Jelas Membangun (kan) Budaya Literasi Bangsa adalah bagian melawan lupa.
Dr. Masaru Emoto dari Yokohama Municipal University Jepang mencengangkan para petinggi dunia dalam sidang terbuka di PBB pada 26 Mei 2005. Pasalnya, penulis buku The Hidden Massages in Water, meneliti. Bahwa air yang dibacakan atau disentuh dengan perasaan akan bereaksi secara signifikan. Di mana dari air yang dimasukkan ke dalam lemari es bersuhu -5oC, dan air itu telah diimbuhi pesan, ungkapan, tulisan, gambar, music, foto berubah tampil berbagai macam ragam Kristal. Menakjubkan.