SOAL keruwetan “izin” atawa sistem pelayanan di negeri ini nggak usah diragukan lagi. Memang ruwet dan dibuat tak mudah. Istilah klasik “kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah?” menjadi niscaya dan terus berjalan. Hingga kini. Dan itu dimakan enak oleh para tikus, baik yang berdasi maupun yang ada di got. Apalagi kalau tempatnya di Pelabuhan.
Presiden Jokowi marah-marah karena kegiatan bongkar-muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok lelet. Bahkan Jokowi yang ke tempat bongkar-muat ini sambil mencecar kepada orang-orang di sekitar keruwetan yang selama ini dianggap salah satu bercokolnya para tikus. Secara nyata dan gamblang. Ia mengancam siapa-siapa yang suka bermain, dan akan menyikat tak peduli misalnya anak buahnya (baca: menteri) sekalipun. Sehingga keleletan bongkar-muat itu bisa menyebabkan inefesiensi mencapai 780 triliun, tak terjadi lagi. Bukan main.
Lumayan juga gebrakan presiden yang dianggap lembek ini. Karena pada presiden-presiden sebelumnya tak dilakukan, dengan segala argumentasinya. Ujung-ujungnya hanya untuk keselamatan dirinya. Pencitraan atau apa pun namanya.
Soal- marah-marah ini mengakibatkan Kementerian atau yang terkait kebakaran jenggot. Dan seperti biasa, mereka emoh dituding sebagai yang disalahkan. Bahwa soal lamanya “bongkar” waktu di Pelabuhan Tanjung Priok hingga 5,5 hari semestinya bisa dipersingkat. Artinya, kerugian tak terjadi demikian besar. Terus-menerus.
Sudah sedemikian parah soal izin atawa apa pun yang bisa dipermainkan oleh mereka yang mengambil keuntungan. Kita bisa mengapresiasi apapun yang dilakukan Menteri Susi yang menenggelamkan kapal-kapal pencuri di laut kita, yang sudah berjalan bertahun-tahun. Kita takut dengan perompak-perompak itu. Atau terobosan-terobosan yang digunakan oleh Menteri Jonan. Menteri Sudirman Said, dan mungkin beberapa yang lainnya. Sehingga seperti dikatakan Faisal Basri dalam acara Seminar Nasional tentang Bauksit yang diadakan Kompasiana, tak membuat pejabat setingkat menko Hatta Rajasa (Kabinet sebelumnya) membuat kebijakan yang menguntungkan segelintir orang dan kelompoknya. Karena semestinya angka-angka mencengangkan yang mestinya didapat Negara untuk kepentingan dan keadilan rakyat negeri ini yang dibuat bodoh secara tak berkesinambungan. Dan melihat negara loh jinawi hanya untuk bancakan mereka saja: para tikus.
Mestinya Sumber Daya Alam, termasuk hutan tak gundul, energi yang kian kering serta kekayaan alam dan tak membuat negeri ini berhutang kian membengkak. Presiden sebagai penanggung jawab jalannya negeri ini semestinya “boleh marah-marah” untuk kebaikan. Dan berani. Harus. Sehingga ia layak menerima gaji tidak di bawah Gubernur BI, yang angkanya mendekati 200 juta per bulannya.
Kapan, marah-marahnya Presiden berbuah? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H