BAMBANG Pramono Djati sudah pensiun dari PNS di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Jakarta. Namun bukan berarti ia berhenti beraktivitas. Terutama tenaga dan keahliannya, justru dibagikan kepada siapa saja secara intensif. Tanpa menghitung-hitungnya.
foto: TS
“Saya bukan berpromosi atau komersial dan mencari popularitas. Saya hanya ingin berbagi kepada yang membutuhkannya,” tuturnya perihal kebisaan dan kebiasaannya menolong dengan terapi yang dikuasainya.
Dan sudah tak berbilang lagi apa yang dilakukan lelaki kelahiran Jakarta 59 tahun lalu ini. Di lingkungan Pemda DKI Jakarta dan terutama di Kepulauan Seribu (Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan pulau-pulau sekitar) mengenal dan merasakan sentuhannya. Pendekatannya yang humanis, membuat ia diterima secara terbuka dan nyaman siapa pun. Bahkan di TMII, sampai ketika Jogja dilanda gempa, ia menjadi bagian “penerapi” alternatif bersama relawan lain. Kebhaktisosialannya dijalani tanpa mengenal lelah, hingga ke mana pun. “Saya bahkan sampai ikut menerapi hingga Port Klang, Malaysia,” katanya lebih lanjut.
Bambang ketika beraksi, menerapi "pasien". (doc;Pribadi)
Kiprahnya jelas dan nyata. Namun bagi lelaki yang punya keahlian kesehatan alami melalui hipnoterapist ini, semua itu sebagai bagian dari keinginannya berbagi kepada sesama, terutama yang membutuhkan “sentuhannya”. Baginya, itulah kebahagiaannya. Seperti ketika bertemu dengan penulis dalam sebuah acara bedah buku di TB Gramedia Matraman lalu. “Kalau tidak ada kontak, kita nggak akan ketemu, Pak Thamrin,” ungkapnya merendah.
Tak mengherankan. Ia terus belajar perihal berhubungan dengan manusia. Pak Bambang pun misalnya merujuk ke artikel Kompasianer of The Year 2014 Tjiptadinata Effendi yang dianggap pas seperti yang dilakukannya: “Hidup Adalah Pengabdian Tanpa Akhir” di Kompasiana. Ia menyenangi apa saja yang bisa dibagikan. Boleh jadi, mengingat latar belakangnya. Yakni ia pernah dirawat cukup lama karena “sakit”.
“Saya mempelajari secara otodidak,” aku lulusan Sekolah TInggi Ilmu Administrasi YAPPAN merendah perihal kebisaannya menerapi itu. Jelas, ini segaris dengan panggilan dirinya untuk menyambangi dan mengulurkan tangan bagi yang membutuhkan tenaganya. Sebenarnya, ia telah mengikuti berbagai pelatihan dan seminar seperti Art Healing with one Finger, APALI (2010), Kursus Shiatsu Tradisional Jepang, Self Hypnosis dan Pelatihan Ear Candle.
Karena gerakannya yang cukup aktif itu, maka sebagian orang-orang di lingkungan dan relasinya tak keberatan bertestimoni perihal kiprahnya itu. “Teruslah peduli kepada sesama. Karena semua yang kita lakukan akan kembali ke kita lagi,” tulis Wakil Walikota Jakarta Timur saat itu, tahun 2010, Krisdianto.
Dan hal itu tak hanya berhenti dari orang-orang yang tak mengerti medis. Namun juga semisal apa yang ditorehkan dr. Budiarjo yang bersama melakukan bhakti sosial, lima tahun lalu. “Dharma Bakti kepada sesama merupakan kunci dari sebuah kehidupan. Kehidupan yang bermakna ketika kita bisa berbagi kepedulian kepada sesama,” akunya, bersaksi.
Jika sudah demikian, tak diragukan lagi apa yang telah ditularkan oleh Pak Bambang. Ia takkan pernah lelah untuk berbagi. Ia yang bermukim di Jalan Tebet Timur Dalam 1.P No.15 Jakarta Selatan ini ingin bisa sama-sama sehat dan berguna bagi negeri ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H