Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monalisa dari Madura

31 Maret 2014   14:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Monalisa dari Madura

Cerpen Thamrin Sonata

“Aku jatuh cinta ....”

“Lagi?”

Aku mengangguk.

“Ke siapa? Pasti cantik, kan?”

“Seleraku kan memang ...yang anggun. Bukan cantik.”

“Kenapa?”

“Karena yang cantik suka sirik.”

“Yang anggun?”

“Bisa nyanyi dan dikenal seluruh dunia.”

“Anggun si penyanyi itu?”

Aku tertawa.

Aku jalan beriringan. Dengan seorang gadis. Yang selalu memayungi wajah dan sekitarnya dari sengat matahari. Dengan buku bergambar wanita berambut panjang. Matahari Jakarta sedang nakal dan ganas. Lah, itu. Kulit Sari menjadi kemerahan. Aku ingin memayungi dengan telapak tanganku, yang jelas tak mungkin bisa menyelamatkan wajah keseluruhan. Dari sengatan sang surya yang hari-hari ini mulai menyengat.

“Ke mana kita?”

“Ke Monas.”

“Ada apa di Monas.”

“Airmancur bisa joget.”

“Ih!”

“Iya. Bener. Dengarkan ini: Jangan jauh-jauh kita ke monas saja. ...Ada air mancur bisa joget...”

Sari ngakak setelah kuberitahu itu lagunya Rhoma Irama. Ia memang tak mengenal lagu-lagu dangdut. Mana itu lagu rada lama, dan itu hanya dikonsumsi oleh penggemar berat Satria Bergitar. Aku pun memungutnya setelah beberapakali mendengar lagu-lagu dangdut yang gencar dicuitkan oleh para penyanyi pendamping para pemimpin partai yang sedang berkampanye. Entah apa yang disemburkan para juru kampanye. Karena yang ditunggu adalah suara penyanyi dangdut. Dengan goyangan para penyanyinya, yang seronok dan dibayar mahal.

“Saking sebelnya, aku jadi inget lagu itu.”

“Tapi jangan bawa-bawa aku, dong.”

“Karena kamu yang bisa kuajak gila.”

“Sial!” sungutnya sambil mencubit lenganku.

Hari mulai turun ke sore. Sinar mentarinya masih merona. Aku duduk di bangku kayu. Berdua Sari saja. Ia senang melihat orang-orang naik bis wisata tingkat. Kadang saling melambai ke arahnya. Atau ia membalas lambaian mereka, di antaranya anak-anak.

“Mereka apa ngerti kita sedang apa duduk berdua di sini?”

“Mmmm....”

“Apa?”

“Ya, apa?” ia lebih senang memandang ke arah barat sana. Ada museum Gajah yang banyak dikunjungi turis berkulit putih.

“Kalau aku sedang duduk dengan wanita cantik, berkulit putih, pintar dan ....”

“Gombal!”

“Kan aku jatuh cinta lagi.....”

“Oya?”

“Kok oot, sih.”

“Kamu kallleee ....”

“Heh. Kok dibalik?”

“Katanya kamu milihnya yang anggun. Yang seperti mantanmu.”

Aku terpaksa ngakak.

“Serius. Dia itu anggun.”

Aku menggeleng.

“Halllah ...!”

“Kamu ... lebih lucu.”

“Ya, kalau gitu beda dong. Lucu sama anggun.”

Iya juga. Aku jadi kebingungan. Harus bagaimana. Menjelaskan kepada Sari. Kalau aku sesungguhnya ingin mengatakan. Kalau dialah yang kumaksud. Wanita yang memenuhi kriteria. Paling tidak, selama ini tak bisa menolak kalau kuajak jalan-jalan ngawur. Termasuk nggak jelas tujuan, dan sekarang hanya duduk di bangku kayu hasil kerjaan Gubernur. Membuat turis nyasar kayak kami, cukup bermodal air mineral di botol dan bisa membeli gorengan dari mereka yang ada di sekitar Museum. Atau Monas.

“Udahan, yah.”

“Apanya?”

“Ya, aku mau pulang. Kok gini-gini aja. Kayak turis kesasar.”

“Makanya, aku mau omong.”

“Omong apa?”

“Kalau kamu cantik.”

“Apa hubungannya?”

“Di sela anggun dan lucu, lebih baik kupilih yang cantik. Yang ada paling dekat.”

Dia tertawa.

“Jangan mengelak, dong.”

Hm, hm. Dia bergumam.

“Aku cuma jadi tumbal?”

“Ini era orang suka-suka bohong. Aku nggak suka bohong. Jadi, kamu bukan tumbal.”

Tanganku terbang pelan, dan berlabuh di punggung tangannya. Ia diam. Tak juga mendesahkan sesuatu. Juga ketika kuelus-elus. Juga ketika kucubit kecil.

“Kamu ini nakal, ya Te?”

“Kepada kamu saja.”

“Halah ....”

“Halah apa?’

“Orang yang suka merayu, itu tanda-tandanya ada pada kamu.”

Aku mengiyakan, tanpa suara.

“Dan kamu mau ....”

Ia refleks mencubit tanganku yang tadi kugunakan menumpangi punggung tangannya.

“Kamu jahat ....”

“Makanya, kita nyanyi dangdut ....Kita ke Monas saja.”

Ia menoleh ke arahku. Senyumnya, manis sekali.

“Senyummu kayak Monalisa ....”

“Kayak pernah melihat saja.”

“Yah, di lukisan, dong.”

“Lha aku kan dari Madura. Jauh dari yang dilukis Leonardo ....”

“Kalau begitu, ya, Monalisa Madura ....”

Sari mengulum senyum.

***

Hari Nyepi, pagi ini 31/3/14

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun