“Tulisan yang baik, tulisan yang bermanfaat bukan untuk dirinya. Tapi untuk orang lain,” pungkas Pepih Nugraha, Jumat sore (4/4) di Nangkring Kompasiana: Ngobrolin Kompasiana, Yuk!
Sambil merujuk berbagai sumber, punggawa Kompasiana ini bagai sedang menepis timbunan “masalah” dan berniat memperbaiki isi dari Kompasiana. Karena, ini cukup mencengangkan, sekarang anggota kompasiana sudah 200 ribu lebih – termasuk boleh jadi yang kloningan dan yang “semau gue”. Dan Kompasiana, sebagai media warga, kompasianernya yang menulis – di samping yang “pembaca diam-diam” atau komentator yang – yah, kadang kotor, dan tak bisa ditolerir. Tersebab super ngawur, dan mendatangkan kemudharatan. Karena jenis yang ini kerap tak bisa dipegang bayangannya, sebagaimana istilah di dunia maya. Padahal, ketika ada acara kumpul seperti sore itu, ada sosok-sosoknya, nyata, jelas: Kompasianer. Manusia – yang menulis dan berkeinginan seperti lontaran ujung “sambutan” manajer Kompasiana di atas.
Apabila Kompasiana sedang mawas diri atawa koreksi diri, tak lain memang misi: sharing dan connecting akan dipertanggungjawabkan kepada anggotanya. Dan masukan dari anggota yang hadir dalam acara Jumat – nggak pakai keramat – itu bagian dari keinginan kebermanfaatan dari sebuah tulisan. Siapa yang tak setuju?”Ya, silakan minggir,” imbuh Kang Pepih.
Niatan pembenahan, dan esensi sebagai sebuah media yang berkelindan dengan induknya KOMPAS, mestinya sebuah keinginan baik, dan bersih-bersih pada isi (content) sebuah media – yang ini masuk media baru – patut disambut. Karena, bila hanya masalah yang berisi “tak baik” untuk apa dibuat? Masak mengajak ke arah ketidakbaikan bisa menjaring “orang mana pun” hingga dua ratus ribuan lebih itu? Hil yang mustahal, tentu.
Menjadi soal, mengingat media jenis ini, oleh sebagian yang sudah nyaman, bahwa media sosial kerap acak-acakan, semua gue: tak menggunakan parameter yang jelas dan setusnya. Ini persis dalam sebuah acara diskusi yang diadakan Penerbit Buku Kompas (PBK) yang saya hadiri sebagai “wakil Kompasiana”, akhir tahun 2013 lalu atas undangan Pepih Nugraha – yang jadi pembicara. Di acara tersebut, “penulis” di era kompasiana masih dipandang sebelah mata. Saya sebagai yang melewati media mainstream dan sekarang bergabung di kompasiana, mesti sedikit menjelaskan. Bahwa media macam Kompasiana – waktu itu saya sebutkan baru di bawah dua ratus ribu anggotanya – berhak hidup dan tumbuh. “Abaikan, kekurangan-kekurangan itu. Karena di sini ada nuansa pembelajaran (dalam) menulis. Kita bisa ambil kok di antara ribuan yang ada itu,” sedikit jawaban saya. Dan di masa jeda acara siang Jumat empat bulan lalu itu, saya disambangi Wakil Pemred KOMPAS, sambil menyalami dan “mensupport” omongan saya.
Benang merah dari keinginan penanggungjawab Kompasiana dalam acara nangkring kali ini, selazimnyalah untuk disambut dengan baik. Persis seperti di bagian ujung sambutannya – kok keren amat ada sambutan segala, hehehe – Kompasiana mestinya menyandang “good” dan dan good semisal artikel dan hal-hal yang “good” lainnya. Hingga Kompasiana layak “bercita-cita” tak sekadar hadir seperti sekarang ini. Isjet, Iskandar Zulkarnaen, sedikit buka suara: itu cerita besar ke depan nanti. Semisal, ada semacam “akademia”. Sehingga yang bersekolah di “akademi Kompasiana” bisa lebih “lurus” dalam hal menulis. Hm. OK, juga sih.
Artinya, penyebaran dalam berbagi (sharing), jika itu berbau busuk masak akan diterima? Itu jika tidak ingin hidung dipenuhi sesuatu yang mengganjal. Apalagi, bila disambungkan (connecting) ke teman-teman yang lain. Nggak enaklah, tentu. Berdosa, malah. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H