Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Yang Muda Yang Membaca Politik

14 April 2014   09:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETIKA kampanye Pemilu lalu (9/4), belum lama berselang dan hasilnya belum diketahui secara “resmi”, kita dipertontonkan bahasa para politikus. Bahasa-bahasa nan rancak, vulgar, sampai yang puitis. Seolah meminta perhatian sungguh-sungguh. Mereka seperti mempertontonkan kepiawaiannya mengolah frasa bahasa. Untuk dikomunikasikan kepada audience dan lawan politiknya sekaligus.

Jika ditelisik, maka sesungguhnya amat membingungkan. Kata-kata yang pating pecotot, muncrat itu menjadi bersayap-sayap. Kadang berjalin kelindan. Kerap kosong melompong, dan sesekali bernas. Dan itu, menyulitkan bagi orang kebanyakan. “Apa sesungguhnya yang dikatakannya?”  Jawabannya sederhana: pilihlah saya. Dan menangkanlah saya,nanti saya “akan” mewujudkan mimpi kamu. Saya ini “pemimpin” rakyat sesungguhnya.

Rakyat sudah menjawabnya. Meski terbelah-belah. Karena dalam memilih, tak lagi diberi “penjelasan” memadai, proporsional dan bermakna. Sekaligus nyaris tidak ada yang bening, dan jujur meluncur dari mereka. Kebanyakan omong kosong.

Ini pula yang bisa membingungkan para muda – yang baru pertama kali mengikuti dan punya hak sebagai pemilih dalam Pesta Demokrasi. Mereka yang belum memahami bahasa politik, tak mendapatkan sesuatu yang nggenah, jelas. Hampir abu-abu semua. Apalagi ketika melihat dengan nyata “bagi-bagi duit”. Lho, kok Pemilu itu begitu ya?

KOMPAS, sehari setelah acara hajatan lima tahunan (Pileg) itu menjaring. Di antaranya, pernyataan mereka yang baru pertama milih. “Kalau Pemilu ini, saya tak mengerti siapa yang mesti saya pilih. Bingung. Namun dalam Pilpres mendatang, saya punya calon yang akan saya pilih.”

Nah!

Itu pertanda apa? Sepertinya karena uyel-uyelannya wajah-wajah mereka di pohon, dan tempat-temapt yang menjadi sebuah setting teater di ruang terbuka, dan terkotori. Apa boleh buat. Mereka – para politikus – itu tidak punya kreativitas memadai, dan kehabisan akal. Jadi, jangan lagi memberi percerahan kepada “anak-anak” sendiri, yang muda yang baru mencoblos. Para muda itu dibingungkan.

Jika menilik salah seorang responden yang dijaring KOMPAS, agak mewakili. Mereka membaca, salah satunya tindakan tokoh politik yang akan ikut dalam Pemilihan Presiden mendatang. Melalui apa? Banyak cara. Dan yang sesungguhnya menukik: bahasa tubuh.

Body language politikus, bisa dibaca dengan tenang. Di mana saat politikus itu berhamburan di layar-layar kaca, dan termasuk ocehan yang tak sebanding lurus dengan bahasa tubuhnya, itu bisa dibaca oleh kaum muda, anak-anak kita.

Tersebab politikus jualannya janji, maka apa yang dibaca dari politisi, ketika mencla-mencle, terlalu muluk, dan paradoksal, maka segera terpampang sebuah kesimpulan. Ya, mengingat  bahasa tubuh mereka taklah “berubah”. Setidaknya, terbaca – walau mungkin secara naluriah. Maka, jawaban pelajar seperti yang dijaring KOMPAS, yang sudah memenuhi syarat milih menjadi bekalnya kelak: memilih pemimpinnya, dalam hal ini Presiden. Lebih-lebih bila cerdik membaca (bahasa) wajahnya. ***

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun