Bandung, Tak Terbendung
Judul : Wisata Parijs van Java
Penulis : Her Suganda
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 333 halaman
Tahun : 2011
Bandung, Bandung di lingkung gunung, Parahyangan
Waktu Tuhan tersenyum, lahirlah Pasundan*
Adakah kota yang lebih indah dari Bandung? Paris pun, belum sepenuhnya indah. Karena belum tentu ia lahir saat Tuhan tersenyum.
Suatu ketika seorang teman mengajukan pertanyaan nyeleneh: Lu, kalau mati milih di mana? Saya yang terbiasa dengan gayanya itu, nyengir sambil kemudian menyebutkan tempat. ”Kalau gue milih mati di Bandung.”
Pada hari libur, apalagi ketika hari kejepit-jepit minggu ini, akhir Mei 2014. Orang Jakarta dan sekitarnya sebagian milih ke Bandung. Apalagi sejak ada jalan tol Cipularang. Dua jam Bandung bisa dicapai. Soal macet di Kota Kembang, sudah menjadi bagian dari orang Jakarta dalam bermacet-macet. Nikmati saja. Karena Bandung memang layak untuk dinikmati, dengan segala ragamnya. Termasuk kemacetan, yang oleh Acil Bimbo (dalam sebuah perbincangan ringan dengan penulis): saya mah tetap di diye, katanya ketika abangnya Sam Bimbo lebih memilih Jakarta.
Saya pun terpesona dengan buku yang disampul dengan cantik ini. Rasanya komplet, plet buku yang satu ini. Mungkin karena ditulis oleh jurnalis senior dan penulis. Tidak hanya satu sudut. Namun seperti tertera di sampul: Sejarah, Peradaban, Seni, Kuliner, dan Belanja.
Jadi, rasanya ini menjadi buku pegangan saya, meski sudah tak terbilang ke Bandung – dulu selalu ngebroknya di Kang Harry Roesli. Karena tak cuma petunjuk, namun ada referensi yang memadai. Karena kebiasaan saya, ke suatu tempat “bukan tempat tinggal” membutuhkan referensi data yang tidak kering. Di mana di sini, saya bisa tahu Museum Sri Baduga, atau tempat tinggal Inggit Ganarsih (istri Proklamator Bung Karno) yang sekarang menjadi “kumuh” dan ada di sela-sela pasar ruwet. Atau perlu musik angklung yang mendunia ke Saung Mang Ujo? Mungkin ke Ciwidey nan mempesona? Pengalengan yang dilambari perdu teh menghijau?
Buku yan dilengkapi dengan nama, alamat, dan telepon kuliner, hotel dan sarana transportasi ini, menjadi unggul, bila dibandingkan dengan hanya berpegangan dunia maya. Ada sentuhan yang tak didapatkan jika tidak dengan “membaca”. Karena sajiannya komplet, dan tertata. Sebagai buku “Seri Perjalanan dan Wisata KOMPAS”, tak usah diragukan racikannya sang penulis.
Ke Bandung bukan untuk belanja saja. Namun juga bukan semata untuk mengudap aneka makanan nan unik, dari nama dan bahan bakunya yang diaduk dengan kreatif. Namun bisa menyuruk ke toko buku loak di Cikapundung atau di Pasar Suci, bagi saya. Meski ujung-ujungnya diam sambil minum-minuman hangat dan cukup menikmati Dago dengan segala perkembangannya. Baik ketika rintik hujan, atau rembulan bersinar bulat. Di sela-sela daun pohon tua berbatang besar tak bisa didekap.
Senja jatuh di Bandung Utara
Langitnya merah kelabu*
Ah, ke Bandung. Jangan pernah untuk tak menikmati seni Kota Kembang. Karena ini bagian dari hidup kita. Kita? Sebelum meninggal ....***
*Penggalan lirik lagu Bimbo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H