Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wiji Thukul, Bapak yang Profesional

3 Juli 2014   19:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:38 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wiji Thukul, Bapak yang Profesional

Hanya ada satu kata: lawan!

Dengan dua jari

APA yang bisa diingat anak usia delapan tahun ketika Sang Ayah “menghilang”? Adalah Fitri Nganthi Wani, kini 25 tahun. Ia anak Wiji Tukhul yang sepenggal puisinya bagai mantra siapa saja, terutama para demonstran.

Ia hilang sekitar prahara Mei 1998. Diburu Kopassus, penyair ini juga target operasi kelompok lain. Siapa yang telah menghabisinya?

Kata-kata itu tertera di halaman depan majalah TEMPO edisi khusus: Tragedi Mei 1998-2013 dengan tajuk jelas:  Teka-teki Wiji Thukul. Dan bisa dibilang, buku puisi penyair Wiji Thukul yang terbesar (terbanyak) diterbitan di Indonesia, bersamaan dengan edisi majalah itu. Mengalahkan penyair paling hebat mana pun di negeri ini.

Mungkin menjadi pengingat bagi Wani, yang saya temui dalam acara Nitizen-Jokowi, pekan lalu di Lumire Hotel, Jakarta. Dari sini, saya mendengar suara anak yang wani, (Jawa: berani) seperti digelontorkan dalam perbincangan penuh emosi. Ia, yang seperti buah dari pohon bapaknya yang nyair, kata-katanya bertenaga: “Masak sih sudah ada korban seperti Munir, akan ada lagi. Itu namanya bodoh,” ungkapnya tentang sikap pemerintah jika masih memperlakukan seperti terhadap bapaknya yang tak kunjung jelas di mana keberadaannya.

Kamis, kemarin (6/3) Wani ada di barisan aksi Kamisan ke-358 di seberang jalan kompleks Istana, di mana bersemayam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bertempat tinggal dan bekerja. Aksi yang memasuki tahun ke-enambelas dan tak ada hasil yang bisa dipetik oleh orang seperti Wani yang bapaknya hilang. Aksi Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, seperti tak berujung.

Darimu jendela penindas hamba belajar meracik senjata

Dari bubuk mesiu kebenaran membentuk peluru-peluru kata

Dan kau tercengang ketika peluruku lebih mematikan dari milikmu.*

Wani, menjadi bagian dari sebuah catatan pahit terhadap anak bangsa yang lahir dari peradaban yang mengaku demokratis. Termasuk kini, ketika reformasi sudah berjalan enambelas tahun. Ia terus mencari tahu keberadaan bapaknya. Bahkan seucil keterangan tak didapat, selama ini hingga menjadi dewasa dan bahkan sudah berkeluarga. Meski asa terus dihembuskan oleh seorang wanita yang menanggung luka atas apa yang terjadi pada bapaknya –  yang kebetulan seorang penyair. Seorang yang hanya bersenjatakan kata-kata.

[caption id="attachment_313832" align="aligncenter" width="448" caption="Wani, anak wiji Thukul dengan kompasianer Maria Margaretha (foto:TS)"][/caption]

“Bapak saya seorang yang profesional,” tuturnya dengan mimik serius. Di mana baginya, bayang-bayang Wiji Thukul adalah seorang lelaki yang bertanggung jawab. Di mana dengan berbagai cara, mencoba menghidupi istri dan anak-anak seperti Wani dan adik-adiknya. “Berat, berat sekali. Apa sih yang bisa diingat dari seorang anak usia delapan tahun? Kecuali saya, dan bapak mencoba dengan caranya,” ujarnya. Termasuk menjual apa saja yang bisa dijual untuk menghidupi keluarga yang bisa disebut papa. Semua bisa dijual, kecuali harga dirinya, kemudian menjadi penggalan kata-kata super bertenaga: hanya ada satu kata, lawan.

Cara Wiji Thukul menghidupi keluarganya, jelas bukan idealisasi seorang kepala keluarga yang lebih sering tidak berada di rumah. Karena menjadi buron. Di mana pihak keamanan sering menyatroni rumah – yang lebih tepat disebut gubug di wilayah pinggir Solo. Ini, jelas bagian teror bagi seorang penyair dan keluarganya. Bagi Wani, menjadi biasa, ketika anak-anak sebayanya kerap mencemooh tentang bapaknya. Meski sebenarnya, lazimnya, bukan ditujukan kepada seorang anak yang masih duduk di bangku SD seperti dirinya. “Aku tidak mau berkawan denganmu. Karena kamu anak buron,” olok mereka yang sesungguhnya sama seperti Wani, tak mengerti apa-apa tentang frasa: buron.

Duh.

Anak buron, anak penyair, maka lahirlah seorang anak pemberani. Meski Wani tak bisa membendung airmata ketika Kamis kemarin seusai membaca puisi (di depan Istana) dari, “Bapak saya dihilangkan paksa oleh penguasa karena menulis puisi yang menyoal kebenaran.” (KOMPAS 7/3).

***

*Syair yang dibacakan Wani: Dalam Keabadian Kebenaran Membatu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun