Lionel Messi, kapten Argentina bertubuh tak lebih tinggi dariku, punya peluang amat sangat bagus di menit awal babak kedua, 47. Namun tendangan kaki kirinya tak membuahkan hasil. Gawang Jerman masih aman. Der Panzer, dengan pemain-pemain lebih jangkung, tentu lebih senang dengan permainan bola atas. Meski itu tak membuat Messi grogi. Ia mirip Maradona yang tak kenal lelah.
Keadaan terus kosong-kosong, hingga babak kedua berakhir, 90 menit. Ditambah additional 3 menit.
Pertandingan bermutu pertandingan sama kuat. Namun pertandingan yang tidak indah, karena tanpa gol. Apalagi ini dua tim yang sama-sama pernah mengantongi gelar juara dunia. Dan mesti diukir dengan sebuah kemenangan. Terutama bagi Jerman yang disokong Tuan Rumah Brasil yang mesti menanggung malu, karena hanya di tempat keempat setelah dilindas Belanda tanpa balas: 3-0.
Brasil, memang tak menghendaki kemenangan bagi Tim Tango Argentina. Itu hanya akan menambah beban malu bagi Scolari. Maka Rio de Jenairo, sebuah lapangan mistis, mesti memenangkan dari Messi dan kawan-kawan. Apa pun.
Argentina tak bisa disebut bermain jelek, malah sebaliknya. Juga sadar mesti bermain dengan bola-bola rendah, jika tak ingin ditanduk Jerman yang berpostur lebih tinggi. Juga dengan bola-bola tidak lebar seperti Jerman yang tetap bermain dingin. Sedingin instruksi Joachim Loew yang selalu berbaju biru tua dengan dimasukkan ke dalam celana. Plus kedua tangannya yang hamper terus dimasukkan ke kantong – seperti itukah azimatnya?
Sebuah drama panjang dan melelahkan. Kedua tim seperti ingin menjaga stamina itu, dengan permainan relatif bersih, meski ada kartu kuning yang diacungkan wasit. Wajah-wajah penonton: termasuk wanita dan anak, begitu tegang. Pertandingan menguras semua daya-upaya. Bahkan mesti mengorbankan si Jerman Bastian Schweinsteiger (nomor punggung 7) hingga jatuh-bangun dan mesti berdarah-darah.
Namun di lima menit waktu yang hampir usai, ada sebuah permainan cepat atau serangan balik kebiasaan Jerman.
Mario Goatze (22 tahun) mendapat umpan cepat dari sector kiri. Lalu ia menerimanya dengan dada. Bola turun, dan sebelum jatuh ke tanah, ia voli dengan kaki kirinya. Kiper Argentina, Sergio Romero yang bermain bagus dan berdiri di sudut kanan gawang pun terkecoh. Melesaklah si bola bundar di sudut kirinya. Gol di menit perpanjangan waktu 15 kali dua itu cepat dan indah. Itulah kemenangan Jerman, golnye Goatze.
1-0.
Apa boleh buat. Inilah pertandingan bermutu, meski Alejandro Sabella sang pelatih Argentina sudah melakukan jurus dan taktik habis-habisan. Lelaki berambut rada putih semu blonde itu tak bisa berpelukan dengan anak asuhnya dalam senyum kemenangan. Tapi ia terhormat. Paling tidak bila dibandingkan Luiz Filipe Scolari yang mengasuh Tuan Rumah dengan meremukkan hati seluruh negeri Samba. Pesta itu cukup diwakili Jerman. Sebagai penglipur lara. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H