Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soal Membaca, apalagi Menulis!

12 September 2014   15:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:54 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MINAT Baca Masih Rendah, demikian tajuk dari “Langkan” di KOMPAS, Jumat (12/9). Berita secuplik, satu kolom di halaman 11 Pendidikan & Kebudayaan – yang hanya terdiri atas 12 (dua belas) baris. Isinya, sebenarnya, klasik. Yakni tentang rendahnya budaya membaca warga negeri ini yang konon sudah mayoritas melek huruf.

Merujuk hasil survei Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) 2010, minat baca orang Indonesia hanya 0-1 (baca: nol sampai satu) buku per tahun. Ini juga yang disitir Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh Suferdi, Rabu (10/9). Jadi?

Jangan dibandingkan dengan Amerika Serikat yang kebiasaan membaca (reading habit)-nya tinggi. Di mana di Negeri Paman Sam, 20-30 buku per tahun dilalap mereka, terutama pelajar. Jepang, apalagi. Yang budaya orang-orang di tempat umum memegang buku – meski oleh Kompasianer Paras Tuti yang menjadi dosen Bahasa Indonesia di Negeri Matahari Terbit – disebut, bisa jadi mereka tidak membaca sungguh-sungguh.

Dr Murti Bunanta dosen UI dan penggerak Kelompok Pecinta Buku Anak (KPBA) menyebut, dan sekaligus prihatin. Bahwa ketika kita (anak-anak) baru akan membaca eh, media televisi menggelontor. Jadilah. Apalagi sekarang era abad berlari dengan teknologi. Ini, jelas, tidak berbanding lurus “anak” suka membaca dan kemudian menulis. Lebih-lebih mereka lebih senang (menulis aktivitasnya: status) dengan bahasa yang lebih menggunakan bahasa gaul. Serba “seenaknya” dan instan. Bahasa yang bisa meretas cara berpikir kelak kemudian hari.

Bagaimana mengukur minat kita masih rendah terhadap teks-teks berupa bacaan? Judul buku non teksbooks, jumlahnya masih rendah. Buku umum – termasuk karya sastra – hanya dicetak di kisaran 2. 000 (dua ribu) eksemplar. Laku semua? Boro-boro, sepuluh persen laku saja sudah Hebat! Maka yang terjadi, buku diobral. Pun masih banyak yang tak laku. Apa indikasinya? Penulis kerap dalam rentang dua bulan, buku obral itu masih “dijual”.

Lalu media massa cetak bernama surat kabar atawa koran. Berapa oplag media lembaran, termasuk tabloid  itu? Jangan kaget, kalau Koran terbesar yang diterbitkan dari pusat (Jakarta) saja baru di kisaran 500. 000 eksemplar per harinya. Itu kalau mau jujur. Sebab ketika era digital atau Teknologi Informasi (TI) sekarang, hari-hari ini jumlah yang tercetak menyusut drastis. Bandingkan dengan jumlah penduduk Negeri.

Agus Sutoyo, Kepala Hubungan Masyarakat Perpustakaan Nasional, lembaganya perlu dan mesti melakukan “Roadshow Perpusatakaan Nasional”. Tersebutkan, sudah 23 Provinsi dikeliling. Dari yang dikelilingi itu, sudah kita bayangkan hasilnya. Meski, jangan pernah lelah untuk menawarkan “buku” agar anak dan pelajar bisa membaca. Persisnya, menggemari membaca. Sebab, menurut beberapa pendapat, jika sudah lepas SMA belum pernah membaca, ya Lewat!

Budaya membaca tidak bisa instan. Apalagi era sekarang, di mana godaan visual atau hal-hal yang lebih “menarik” bertebaran dan setiap saat bisa masuk ke ruang-ruang yang lebih spesifik. Ya, ini era TI yang menyelinap ke dalam tanpa permisi kepada orangtua yang menjaga gawang anaknya bisa kecanduan membaca atau tidak. Ah, penulis teringat Prof. Fuad Hassan, “Hanya satu boleh kecanduan, yakni kecanduan membaca!” tandas Menteri Pendidikan era Orba yang sudah almarhum itu.

Nulis, apalagi

Rasanya tak ditemukan. Bahwa orang yang menulis itu tidak membaca. Kata lain, bahwa dalam menulis dibutuhkan untuk membaca, dan harus. Sebab, di situ ada perbandingan dari “bahan bacaan” bagi yang menulis. Itu, salah satu pemicu seseorang untuk menulis. Bahkan pengarang Naning Pranoto, menyebutkan: Saya suka ke toko buku, dan dari acara “santai” itu terangsang untuk menulis.

Duhai!

Apabila bahan tulisan terbatas, maka berapa persen yang “terbatas” itu. Ya, penulis terbatas. Setidaknya, ini berbanding lurus dengan fakta yang hingga sekarang masih berlangsung di Negeri ini. Minat baca yang rendah seperti dinyatakan para penjaga gawang Perpustakaan seperti dalam cuplikan awal.  Sehingga penyair Taufiq Ismail menyebut, zaman Hindia Belanda buku yang dibaca lebih banyak daripada sekarang. Nah, apakah kita belum merdeka?

Rangkaian dari membaca dan tulis-menulis menjadi sebuah ironi bersama. Dan ini nggak ada urusannya dengan Pemerintah? Ya, nggak juga. Ada, tentu. Di mana era “media cetak” – yang sampai kini – mengenakan pajak tinggi terhadap bahan baku, sehingga buku made in Indonesia terbilang lumayan mahal. Penulis jelas, tidak bisa hidup dengan tulisannya. Honor yang amat-sangat terbatas tak bisa digunakan sebagai pencaharian.

Namun, apakah baca dan tulis dihentikan saja? Sehingga budaya kita jalan di tempat? Nggak, deh. Saya masih tetap menulis, kok.

Salam, Kompasiana. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun