Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

2 Tahun di Kompasiana Membukukan Sejumlah Kompasianer

22 September 2014   10:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:58 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TAK ada yang berubah banyak, dalam dua tahun ini menjadi Kompasianer. Kecuali bertemu dengan teman-teman rendah hati, yang kemudian tak sekadar “berkawan” di dunia maya. Karena kami saling berkenalan dan bahkan kemudian berjumpa secara nyata alias kopi darat: kopdar. Mereka ada, dan manusiawi.

Kenapa catatan awal ini mengait teman-teman rendah hati? Karena sejumlah nama memang menyandang hal itu semisal: Pak Tjiptadinata Effendi, Uda Thamrin Dahlan, Mas Teguh Hariawan, Fary SJ Oroh, Yusran Darmawan, Cak Emcho, Akhmad Fauzi, Iswekke, Isson Khairul, Iskandar Zulkarnain, Rahab Ganendra, Gapey Sandy, Rifki Feriandi yang (tak) bisa disebutkan selain deret panjang di belakangnya. Belum yang wanita, hm. Dan pantas untuk dicatat, di belakang latar belakang beragam dan  cukup meyakinkan: dosen, guru, profesional, pelajar-mahasiswa, jurnalis dan penulis sampai pensiunan. Juga ibu rumah tangga. Plus menyenangkan berteman dengan orang jenis ini. Bisa banyak belajar hal positif sekaligus penyemangat di era dan abad gadget yang kadang meng-alienasi sebagai orang Timur. Di sini, filosofi Negara kita yang Pancasila bisa rontok karenanya jika manusia-manusianya mengejar hedonisme.

Bukankah itu sebuah kenikmatan di Kompasiana? Setidaknya bagi saya – yang memang sudah dan bergumul di ranah media sebelum menjadi warga Kompasiana. Ada nilai lain di sini, meski ada minusnya, tentu. Namun setidaknya dalam bilangan teman 900 orang itu (mudah-mudahan semua Kompasianer itu orang, hm) positif. Kalau boleh dihitung, kurang dari jumlah jari tangan sebelah kiri alias yang suka menusuk dari belakang. Karena mereka berpikirnya ada di Kompasiana untuk “mencari diri” yang tentunya sudah lewat bagi saya.

Jika tak bisa mengetahui atau mengenal siapa dia: lihatlah siapa teman-teman dekatnya. Pepatah itu saya yakini.  Dan rupanya juga berlaku di Kompasiana – notabene dunia maya. Dee, salah satu penghuni Rumah Kayu lebih menajam: tulisan seseorang mencerminkan orangnya. Termasuk sebaik-baiknya menyembunyikan  diri di balik kemasan dan pujian semu. Karena waktu akan membuktikannya, kemudian. Dan itu benar adanya. Sebab, alam tak pernah bisa ditentang.

Selama dua tahun per hari ini, 22 September, saya menerbitkan buku keroyokan para Kompasianer: 36 Kompasianer Merajut Indonesia, 25 Kompasianer Wanita Merawat Indonesia, dan dalam waktu dekat Pancasila Rumah Kita Bersama – di samping kompasiner yang tunggal menerbitkan: Gaganawati Stegmann, Iskandar Zulkarnain, Rifki Feriandi dan Maria Margaretha.

Buku Kompasianer yang saya editori. (repro:TS)

Apa makna bagi saya sebagai  editor buku para Kompasianer itu? Pertemanan dan kepercayaan itu sendiri. Selain, tentu, membanggakan. Karena Para Kompasianer ini  tak berhenti hanya menulis di Kompasiana. Namun ada jenjang keberlanjutan dan membukukan karya tulisnya sebagai jejak budaya bernama literasi.

Itu sebab, saya kerap meresensi buku di Kompasiana. Baik buku yang saya beli maupun buku yang dikirimkan oleh teman. Sepertinya berat amanah itu, namun dari meresensi itulah saya pun belajar. Bagaimana sebuah buku ditulis. Gagasan yang unik, kemasan yang menggelitik dan pesan yang menarik.

Selama dua tahun menulis di Kompasiana, belum ada satu tulisan saya yang dicegah-tangkal alias ditendang oleh admin. Boleh jadi, saya tidak berminat menulis dengan “tema” dan hal-hal yang berbau “SARA”. Untuk apa? Saya sudah setengah lebih usia ada dalam kubangan dunia ini. Masak menggadaikannya dan mencari sensasi walau di dunia maya? Taklah. Itu hanya ada pada mereka yang punya niat lain dalam wadah indah medsos blog keroyokan bernama Kompasiana.

Bagaimanapun, Kompasiana adalah sebuah media. Terlebih di belakang nama besar KOMPAS sebagai bapaknya. Tak mudah (dan tak akan) digadaikan oleh mereka yang menjaga gawang media warga ini. Di sinilah tantangan Kang Pepih Nugraha dan kawan-kawan di Kompasiana. Karena inilah media yang semestinya berperan positif sesuai dengan misinya: sharing dan connecting.

Menyadari sebagai warga Negara Kompasiana, dua tahun ini merupakan bagian dari menyalurkan energi positif. Sekecil apa pun.

Salam, Kompasiana. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun