POJOK KOMPAS Senin, 29/9 kemarin, salah satunya: SBY, Ketua Umum, kecewa walk out Fraksi Demokrat. Jawaban Mang Usil: Kecewa belakangan itu ibaratnya cuci tangan, Pak!
Apa tangan Pak Presiden kotor? Saya tak tahu. Yang jelas, beliau sedang senang menangkis berbagai lontaran lumpur tak sedap ke dirinya. Bahwa ia sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dilancungi “anak buah”nya.
Perihalnya jelas: Demokrat keluar dari ruang Sidang penentuan apakah Pemilihan Kepala Daerah langsung atawa lewat DPRD lagi? Jawabannya: DPR mengacungi OK, dalam pilkada cukup diserahkan kepada wakil rakyat alias DPRD saja. Dan itu, berarti kemenangan Kubu KMP, Koalisi Merah Putih – di sana ada Prabowo Subianto (PS). Capres yang hingga hari ini tak kunjung mengakui kemenangan Jokowi-JK.
Setiap pemimpin punya jawaban sakti: Kita tidak bisa memuaskan semua pihak. Mengingat ribuan mulut berbeda besarannya: bermulut besar atawa ciut nyali dengan mingkem atawa bungkam. Terutama jika itu ada gugatan dan suara sumbang yang mengambang bagi presiden – yang kebetulan bernama Bambang. Namun, bagaimana dengan hanya puluhan anak buah sendiri – yakni dalam hal ini anggota partai yang dipimpinnya? Ternyata anak buah tidak boleh merasa benar. Bos selalu benar!
Sesungguhnya luapan kekesalan sudah mengkristal. Bahwa SBY sedang bersandiwara. Atau setidaknya seperti sentilan Mang Usil: cuci tangan. Dan itu yang sebenarnya. Seperti yang kerap dirasakan oleh kita, yang pernah: “suara rakyat suara Tuhan.”
Sehingga, rasanya, pertunjukan sepuluh tahun yang tinggal menghitung 21 (kayak nama sinepleks) hari ke depan akan tutup layar. Penutup yang tidak indah – dan sesungguhnya selama ini pun semu. Kita hanya diindah-indahkan oleh sutradara dan sekaligus pemain piawai yang satu ini. Pertunjukan selama ini hanya meninabobokan serta melenakan (meminjam istilah WS Rendra: klangenan).
Berbagai orang, kendati dalam bentuk tulisan di dunia maya, cukup tandas: SBY bersandiwara. Meluapkan kekesalan-keresahan-kemarahan adalah juga hak kita: yang kelak hanya akan menonton sandiwara dari wakil-wakil rakyat untuk memilih Kepala Daerah. Ini jelas lebih parah. Bagaimana mengontrolnya?
Tapi, kenapa kita tak menengok, apakah tak ada peran PS? Kita seperti melupakan. Bahwa perannya hanya mempertegas “acting” SBY yang kedodoran. Lupa teks naskah dan tak bisa improvisasi sebagai pemain yang kehilangan elannya seorang aktor. Menjadi bias, malah. Apakah ia selama ini sesungguhnya piawai sebagai aktor?
Entahlah. Malas rasanya membahas sebuah film yang sudah ketahuan ujungnya. Pales. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H