Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Bob Sadino: Bos Istriku yang Balik Mewawancaraiku

20 Januari 2015   13:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:46 2614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_391958" align="aligncenter" width="560" caption="Bob Sadino (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)"][/caption]

obituari

SULIT sungguh menemukan karakter pengusaha seperti ia, gampang benar mengenalinya, terutama jika dalam penampilan resminya: celana jeans pendek dipotong dan baju lengan pendek yang ujungnya sulur-sulur benang sebab tak dijahit. Gaya bicaranya pun relatif lantang dengan intonasinya khas lelaki berkumis: jantan. Rada berserak-serak, gitu.

Ba’da Maghrib istri ditelepon teman lama, teman kantor di kawasan Jakarta Timur. Sebenarnya telepon balik istri, karena baru dia yang menelepon ke temannya itu: Yulia, seorang manajer di “bekas” perusahaan Om Bob, demikian saya memanggilnya. “Pak Sadino meninggal,” jelas istri setelah telepon ditutup, memberitahuku.

Ingatan pun melayang ke lelaki yang lebih pas disebut pengusaha nyentrik itu – selain bercelana pendek ia kerap mengenakan topi lebar. Selalu bersepatu, meski tak berkaus kaki. Pertemuan pertama saat kantor istri bekerja sebagai akunting – ya kantor milik Bob Sadinolah – akan mengadakan piknik di pertengahan delapan puluhan. “Apa kabar, Mas,” sapanya mengagetkanku.

Lha, ya kaget. Sedangkan saya kan bukan anak buahnya. Apalagi, baru pertama kali bertemu. Lalu ia meminta foto bersama, saat itu saya satu-satunya yang membawa kamera SLR. Pemotretan pun terjadi – walau entah ke mana foto itu. Rupanya Om Bob sama memperlakukan kami – karyawan dan keluarganya – yang kepada karyawan selalu menyebutnya: anak-anak.

Banyak cerita tentang Om Bob dari istri. Itu menggambarkan siapa dia. Tak hanya perihal bercelana pendek dalam menemui Presiden Suharto – yang saat itu dikenal streng dalam urusan kepemimpinan; kan penguasa dan jenderal. Ya, itu tetap dikenakannya setelah kejadian Om Bob ditegur saat ke Istana, yakni ketika Pak Harto berkunjung ke rumah dan perkebunannya. “Orang yang gampang merunduk-runduk, nggih, nggih… nggak akan maju,” jelasnya pada suatu kesempatan.

Baginya, menjadi pengusaha itu sebuah pilihan. Setelah ia merangkak-rangkak memulai berdagang telur dengan diantar sendiri bersama sepedanya. Usahanya tak jauh-jauh dari soal makanan. Atau diistilahkan, “Selama pantat orang bolong, saya akan usaha di situ,” urainya, meyakinkan.

Maka saya, terutama anak-anak akrab dengan sosis, burger dan sejenisnya jika akhir pekan istri pulang membawa produk (salah satu) perusahaan Om Bob di Jakarta Timur. Kali lain, ada nangka dikripik – lha, jenis makanan berair kok disulap dengan menabrak pakem. Dan beberapa buah serta sayur, sebagai terobosan. Tapi itulah dia.

Suatu ketika, sudah di tahun dua ribuan, rapat redaksi memilihnya untuk dijadikan cover story. Saya yang akan mewawancarainya, meski sudah mengenalnya namun baru kali ini, karena selama ini bidang yang saya kerjakan remaja, seni-budaya, pendidikan dan sejenisnya. Bukan bisnis dan seputar itu. Ya, kali ini memang majalah yang saya kerjakan adalah “Pengusaha”.

Satu-satunya jalan, mengakali istri. Untuk bisa meminta waktu Om Bob dalam sesi wawancara. Maka tanpa pembicaraan awal, saya tersambung dengan teman istri – persisnya sekretaris Om Bob. Darinya diwanti-wanti untuk datang tepat waktu. OK, hal biasa. Meski rada pagi mruput ke kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan sana.

Seorang satpam membukakan pintu gerbang kayu, dan langsung menyapa namaku. Hm, rupanya sudah diberi tahu semuanya. Lalu saya pun bertemu dengan sekretaris Om Bob, teman istri. Saya pun berjalan sendiri di rumah luas rimbun, lebih tepat disebut kebun. Karena pohon keras seperti sawo dan sejenisnya ada di balik pintu pagar rumah. Di situ teronggok mobil papan atas yang kerap digunakan Om Bob, ada beberapa.

Duduk di ruang yang didominasi kayu, lebih mirip ranch, barangkali. Ya, adanya di tengah kota yang pagi itu hiruk-pikuk. Kurang dari lima menit, Om Bob muncul. Tak banyak berubah, hangat menyapa – meski jelas lupa pada saya sekitar belasan tahun pernah disapa dan diminta untuk memotretnya.

Wawancara pun berlangsung gayeng. Termasuk saya membuka dengan kenapa, Om Bob ikut main sinetron segala? “Lho, saya bisa main kok. Dan saya yang paling disiplin tiap syuting. Makanya sutradaranya saya ajari untuk memanajemi produksi, hahaha ….”

Om Bob pun menjadi bintang iklan. Dilakoni dengan enteng. Dan semua dengan argumentasi khasnya. Ia menjadi teman berbincang yang hangat. Dan tak segan untuk menyentil pengusaha lain yang dianggap “kurang pas”. Itu seperti saat saya menyebutkan seorang pengusaha yang bareng Om Bob dalam sebuah “ceramah” tentang kiat menjadi pengusaha. Dan termasuk saya sebagai jurnalis yang dimintanya untuk menjelaskan pertanyaannya. “Nggak. You musti menjawab pertanyaan saya.”

Ternyata bukan itu saja. Ia menanyakan beberapa hal, mungkin karena saya mengingatkan bahwa istri bekerja di perusahaannya di Jakarta Timur itu. Ya, tentang keluarga, anak-anak dan seterusnya.

Sesi pemotretan pun terjadi di situ. Bahkan tidak dengan memintanya bergaya berpose. Karena memang dari berbagai sudut enak untuk diklik. “Nanti kalau terbit, saya dikirimi, ya?” ingat Om Bob seraya mengantar hampir ke pintu gerbang kayu warna klasik kayu tua. Ia berbalik ke rumah kayu yang pagi itu sepi, dengan mengendalikan tongkat kayunya.

“Sip, Om!” sahut saya.

Selamat jalan, Om Bob. ***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun