Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

33 Kompasianer dalam Perjalanan Bertoleransi

14 Maret 2017   07:31 Diperbarui: 14 Maret 2017   22:00 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Buku (In) Toleransi. dok. pri

Di KutuBuku, punya semacam tradisi. Yakni menulis keroyokan atawa ramai-ramai. Sesama, terutama, Kompasianer. Dibukukan, dan kemudian dibedah di sarangnya Kompasiana di Palmerah Barat, yang sekarang bertajuk: Ngoplah. Ngobrol di Palmerah.

Perjalanan untuk tema buku kali ini, sesuatu. Maksudnya, suka-cita berhamburan ketika ditawarkan di lingkungan para sahabat KutuBuku. Ini tak mengherankan. Tersebab para Kompasianer yang menjadi KutuBuku-ers – sebutlah begitu—berserak di berbagai penjuru. Bahkan hingga ke beberapa negara: Asia, Eropa, Australia, sampai Amerika. Yang Afrika, sepertinya belum terlacak.

Ada sesuatu gairah dari KutuBuku-ers kali ini. Boleh jadi mengingat latar belakang mereka, dan kemudian berdiam atau berdomisili. Atau bahkan ada yang menyebut diri “nomaden”, hehehe. Artinya, sudah bertualang dan bersinggungan dengan berbagai Ras dan budayanya. Sehingga merasakan dan terasah untuk bertoleransi.

Toleransi, memang ajaib. Menandakan bahwa Tuhan menciptakan makhluk jenis ini berbeda-beda. Lha, sidik jari saja ndak sama. Biar kembar sekalipun. Lalu, di mana hidup dan tumbuh di sebuah wilayah. Bersinggungan dan seterusnya, hidup bertetanggaan dan selanjutnya.

Lalu bagaimana tidak unik. Sedangkan di dalam rumah tangga pun, selazimnya berlaku hukum kebersamaan dalam keberagaman. Jika saya mengutip kalimat Prof. Mahfud dalam kata pengantar buku (In) Toleransi ini, ““Pluralisme itu gampang sebenarnya, sebut Gus Dur. Ibarat Anda hidup dalam satu rumah banyak kamarnya. Setiap orang atau keluarga mungkin punya kamar sendiri-sendiri. Ketika dalam kamar masing-masing orang itu bebas. Ada yang pakai kaus, boleh. Sarung boleh, kemeja boleh. Batik, ulos boleh. Tapi ketika ketemu di ruang tamu, di ruang keluarga, hukumnya sama,” sebut guru besar Hukum UII, menteri di era Presiden kental gaya pesantren dan Jawatimurannya itu.

Maka, bisa disebut kehadiran buku ini sebagai sebuah kolam kebersamaan di Kompasiana. Ini membahagiakan saya, TS, sebagai penjaga gawang KutuBuku. Karena ada warna-warni pemikiran perihal toleransi yang dalam bahasa founding father Bung Karno: dalam jiwa kegotongroyongan khas Indonesia.

Ngoplah pada Sabtu (18/3) di Kantor Kompasiana. Pukul. 14.00 sampai 16. 00 Wib
Ngoplah pada Sabtu (18/3) di Kantor Kompasiana. Pukul. 14.00 sampai 16. 00 Wib
Menjadi lebih klop buku yang ditulis 33 Kompasianer. Di mana  para Kompasianer kali ini menulis perihal (In) Toleransi. Ya, in-nya kita kurung dan kita warnakan toleransinya bagaikan Pelangi negeri bermutu manikam. Tersebab, dari sini muncul tulisan yang beragam: Pela-Gandong, Tunjuk Ajar Melayu, Kerbesamaan di Tanah Papua dan kehidupan sehari-hari dalam kehidupan etnis Cina yang toleran. Termasuk di Serambi Mekah.  Juga sudut pandang Kompasianer yang berada di luar negeri. Hingga, selazimnya perbedaan madzhab pun tak perlu menjadi pemicu karena boleh jadi itu misi tersembunyi pihak tertentu. Bahkan rakyat kecil punya cara, semisal dengan mural di kolong jembatan atau tembok-tembok tebal di jalanan.  Pun,  kita bisa belajar dari sekitar rumah di era milenial kini, dari pesawat televisi. Yakni melalui tayangan anak-anak dan kearifan lokal yang lebih membumi, selazimnya.   

Itu sebab, KutuBuku berniat untuk membagikan pemikiran perihal Toleransi di Ibu Pertiwi ini. Yakni dengan mengadakan LombaMenulisResensi buku (In) Toleransi. Bukan hadiah benar yang ditawarkan. Namun kontribusi, dari sembulan pemikiran para Kompasianer dalam soal yang akhir-akhir ini seperti lengkingan di hutan belantara milenial.

Namun, barangkali, acara Ngoplah KutuBuku di Kantor Kompasiana dulu yang perlu didatangi. Dan ada perebugan di sana. Ya, pada Sabtu (18/3) pukul: 14.00 sampai pukul 16.00 Wib. Sehingga bukan sayup-sayup sampai soal toleransi yang sesungguhnya. Kita rawat secara benar dan jernih. Bahwa kita hidup dan tinggal di Tanah yang satu: Indonesia.

Salam, KutuBuku.

Salam, Kompasiana.

***

 Foto-foto: dok. pri/TS

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun