Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh merupakan implementasi dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, telah memberi peluang bagi Aceh untuk memberlakukan Syariat Islam. Pemerintah daerah kemudian menindaklanjuti dengan pemberlakuan sejumlah qanun yang berkaitan dengan syariat Islam. Di antaranya, Qanun Nomor 10, Nomor 11, Nomor 12, Nomor 13, dan Nomor 14.
Meskipun sudah disahkan sebagai peraturan daerah (qanun), tetapi dalam implementasinya tidak semua daerah menggunakan qanun sebagai rujukan. Kabupaten Bireuen tercatat sebagai daerah pertama yang memberlakukan qanun Nomor 13/2003 tentang perjudian (maisir). Belasan warga yang didakwa melanggar Syariat Islam, dihukum cambuk di halaman Masjid Jamik Bireuen pada tanggal 24 Juni 2005 dengan disaksikan ribuan warga dan diliput secara besar-besaran oleh wartawan media cetak dan elektronik.
Keberadaan pasal tentang Syariat Islam dalam UU no 18 tahun 2001, merupakan bentuk dari pengalihan isu konflik bersenjata di Aceh oleh pemerintah pusat pada saat itu. Target dari pemberlakuan syariat islam pada saat itu adalah untuk mengalihkan perhatian publik tentang isu konflik bersenjata di Aceh yang menuntut merdeka, ke arah isu terorisme.
Dalam perjalannya UU no 18 tahun 2001, dianulir dengan adanya perjanjian damai di Aceh. Sehingga melahirkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) no 11 tahun 2006. Dalam UUPA tersebut juga memasukkan point tentang Syariat Islam.
Keberadaa Syariat Islam di Aceh telah melahirkan banyak kontroversi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mayoritas kaum perempuan didiskriminasikan dengan keberadaan Qanun Syariat Islam tersebut.
Kondisi yang paling kekinian, selain pencambukan yang dimulai dari Bireun kemudian dilakukan di beberapa daerah lain adalah pemberlakuan wajib memakai rok bagi kaum perempuan di Aceh Barat. Kebijakan wajib memakai rok ini dikeluarkan oleh Bupati Aceh Barat—Meulaboh yang notabenenya berasal dari ex-combatan (Partai Aceh Sekarang). Dan yang terakhir adalah kebijakan yang dibuat oleh ketua DPRD Kabupaten Bireun Ridwan Muhammad yang bersalah dari Partai Aceh. Kebijakan legislatif tersebut adalah pelarangan pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten Bireun dari kaum perempuan, dengan kasus perdana adalah mendesak eksekutif Bireun untuk mencopot Camat Kecamatan Plimbang, Anisa yang merupakan perempuan.
Alasan pencopotan Camat Plimbang tersebut yang dibuat oleh ketua DPRKabupaten Bireun adalah Syariat Islam. Karena menurut Ridwan Muhammad dalam Syariat Islam perempuan tidak boleh menjadi pejabat, dan ini tidak hanya berlaku terhadap para camat yang berasal dari perempuan, tetapi juga berlaku bagi seluruh pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bireun.
Kondisi ini menunjukkan betapa Syariat Islam telah memakan korban kaum perempuan di Aceh, keberadaan Syariat Islam saat ini sebenarnya bukan untuk mendiskriminasikan kaum perempuan. Karena sejarah Islam juga pernah dipimpin oleh kaum perempuan, apalagi di Aceh bagitu banyak kaum perempuan menjadi pemimpin, mulai dari Laksamana Malayahati, Cut Nyak Dien, Teungku Fakinah, Cut Meutia, Cutpo Fatimah, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren dan masih banyak yang lainnya lagi. Keberadaan Syariat Islam di Aceh saat ini selain untuk mendiskriminasi kaum perempuan juga telah digunakan untuk kepentingan politik kaum tertentu. Sehingga keberadaan Syariat Islam di Aceh perlu di kaji ulang demi kemajuan Aceh dan kemaslahatan umat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H