Mohon tunggu...
Thamren Ananda
Thamren Ananda Mohon Tunggu... -

Thamren Ananda Pendiri Partai Nasional Aceh (PNA) Bersama Irwandi Yusuf, sekaligus Jurubicara DPP-PNA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan dari Sudut Kota dan Lorong-lorong Desa

22 September 2010   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini merupakan sedikit catatan yang selama ini berserak, di berbagai suduk kota, lorong-lorong desa. Catatan ini semakin hari semakin banyak, hal ini mengingat usia pemerintah Aceh paska konflik dan tsunami juga telah memasuki usia senja (memasuki tahun ke empat). Idealnya usia senja merupakan usia telah melawati masa pelatakan pondasi menuju kearah kesuksesan program sebuah pemerintahan dalam waktu lima tahun.

Selama tiga tahun yang lalu, semenjak pemerintahan Aceh (Irwandi-M.Nazar) dilantik menjadi menjadi kepala pemerintahan di Aceh, sampai hari ini belum menunjukkan perubahan yang signifikans apalagi sesuai dengan visi-misi pada saat mencalonkan diri sebagai calon gubernur.

Perubahan yang signifikan sebagaimana yang dijanjikan dan juga harapan dari seluruh rakyat Aceh, belum terlaksana secara maksimal dalam kurun waktu tiga tahun ini. Kondisi inilah yang telah melahirkan berbagai catatan yang semakin berserak di setiap sudut kota dan lorong-lorong desa. Catatan-catatang keresahan, dan protes yang terus terjadi tidak pernah direspon secara positif oleh pemerintah, malah catatan ini dijadikan momok bagi pemerintah. Kondisi ini telah melahirkan sikap paranoid dan anti kritik dari pemerintah yang kemudian mengkristal menjadi sikap yang cendrung anti demokrasi.

Protes dan kritik semakin terasa, setelah jumlah pengangguran mulai meningkat kembali, hal ini sejalan dengan teori bernegara, dimana protes dan kritik akan semakin mengkrital, jika warga Negara semakin tidak bisa mendapatkan kepuasan dalam bernegara, bahkan merasa di diskriminasi dalam bernegara, karena ada warga Negara kelas satu dan warga Negara kelas dua.

Meningkatnya pengangguran, di Aceh semakin terasa, setalah BRR, NGO Internasioan dan UN mulai menutup kantor atau berakhir masa tugasnya di Aceh. Kondisi ini telah mengakibatkan begitu banyak tenaga kerja kontrakan, yang harus di PHK khususnya yang berasal dari Aceh. Peningkat jumlah pengangguran yang selama ini tidak pernah di selesaikan secara konperehensif oleh pemerintaha Aceh, melalui pembukaan lapangan kerja.

Lapangan kerja sekarang tidak jauh berbeda dengan Aceh sebelumnya, yaitu PNS, Kontraktor, Petani, Nelayan dan perdagangan biasa lainnya, yang sedikit berbeda paska pemerintahan IRWANDI-NAZAR adalah adanya Polisi Hutan, walaupun pola perekrutannya penuh dengan berbagai masalah. Dari kondisi yang saya gambarkan diatas jelas menunjukan belum ada perubahan yang signifikan.

Apalagi kalau kita milihat kondisi pertaniaan, malah banyak masyarakat desa yang tidak mau menyebut sektor pertanian sebagai lapangan kerja, hal ini mengingat penghasilan di sektor ini sangat kecil malah sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk kepentingan yang lebih luas. Pada hal hampir semua kita mengetahui, kalau kondisi global sekarang sedang mengalami krisis pangan.

Seharusnya kondisi ini bisa menguntungkan Aceh, bukan menjadi masalah. Hal ini dikarenakan masih banyaknya lahan pertanian-lahan tidur. Keadaan ini berbeda dengan Negara lain, dimana lahan pertaniannya telah terkonversi ke industri. Namuan pemerintahan Aceh tidak melihat ini sebagai sebuah peluang dalam menggerakkan perekonomian Aceh. Sehingga sektor pertanian tidak di jadiakan leading sector. Malah yang lebih mengherankan sampai saat ini selain sektor pertanian, sektor lain pun tidak dijadikan leading sector. Ibarat orang baru sembuh dari sakit " semua makan enak dan semuanya mau di coba-dan hasilnya tidak ada yang habis dimakan", itulah kondisi atau kebijakan ekonomi Aceh saat ini.

Hal ini tercermin dalam politik anggaran selama empat tahun ini, yang tidak memiliki prioritas. Padalah kalau dilihat dari jumlah populasi di Aceh, mayoritas adalah petani dan nelayan, maka seharusnya alokasi anggaran yang paling besar adalah untuk sektor pertanian dan perikanan, namuan faktanya, alokasi anggaran yang besar adalah untuk belanja apparatus Negara (pejabat)-padahal kalau mau jujur jumlah pejabat di Aceh tidak melebihi 10 persen jumlah penduduk Aceh.

Kondisi inilah yang telah melahirkan berbagai celotehan baik dari sudut kota maupun dari lorong-lorong desa. Sampai hari ini pemerintahan Irwandi-Nazar belum memberikan sebuah perubahan yang signifikan dan nyata bagi rakyat Aceh. Malah kondisi saat ini secara ekonomi masih sama seperti sebelumnya.

Pengangguran yang masih tinggi, telah secara otomatis akan mengakibatkan kemiskinan yang semakin meluas. Akibat tingginya angka pengangguran, maka tidak mengherankan kalau setiap tahun begitu banyak masyarakat Aceh yang memperebutkan kursi PNS dalam berbagai formasi. Hal ini menunjukkan belum adanya lapangan kerja baru di Aceh di luar PNS. Kalau dilihat secara makro, sistem ekonomi yang diterapkan saat ini sama saja dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah sebelumnya yaitu pro pasar, bukan pro poor, pro keadilan dan pro pemerataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun