"Ibu pengen nanti kamu bisa rangking satu deh."
"Kalau bisa kamu harus ranking satu, seperti kakakmu, seperti temanmu itu."
"Loh, kenapa nilainya cuma segini? Gimana bisa dapat rangking satu?"
Pernah merasakannya? Atau, justru anda yang pernah mengatakannya? Semua orang tua pasti menganggap anak adalah anugerah, titipan dari Tuhan. Orang tua pasti ingin anaknya sukses di kemudian hari.Â
Orang tua pasti berharap jika anak-anak mereka menjadi seseorang dengan otak yang cerdas dan penuh keterampilan. Tapi, kebanyakan orang tua lupa jika kecerdasan bukanlah segalanya.
Menilik dari kebanyakan sistem sekolah di Indonesia memang masih banyak yang menerapkan rangking, biasanya dari rangking satu sampai rangking tiga. Ketiga ranking tersebut dinilai dari hasil belajar siswa, nilai akademik. Sehingga hanya murid-murid dengan nilai baguslah yang dapat menjabat sebagai 'si rangking'.Â
Di sekolah, semua hal dan semua mata pelajaran diajarkan. Guru menggembleng muridnya untuk paham semua yang mata pelajaran dengan tujuan agar nilai dapat meningkat. Dan dengan begitu mereka akan di cap sebagai murid yang pintar.
Saya pernah mengenal seseorang saat masih duduk di bangku SMA. Ia merupakan murid yang rajin dan pintar. Setiap kenaikan kelas, rangking yang ia dapatkan selalu menduduki nomor 3, 2, bahkan 1.Â
Tentunya hal tersebut sudah sangat membanggakan bukan? Namun saat pengumuman rangking selesai dibacakan, ia hanya termenung dengan raut wajah yang sama sekali tidak menunjukkan wajah bahagia.Â
Kemudian saya berpikir, oh mungkin karena dia sudah terlalu sering mendapat ranking sehingga tidak kaget jika dia kali ini mendapat rangking lagi.Â