Mohon tunggu...
Thalia Michaela
Thalia Michaela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membongkar Patriarki melalui Lensa Feminisme dalam Media Indonesia

25 Juni 2024   19:15 Diperbarui: 25 Juni 2024   19:16 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gerakan feminisme telah lama menjadi isu penting dalam kajian budaya dan media di Indonesia. Meskipun kemajuan telah dicapai, representasi dan peran perempuan dalam media masih sering terjebak dalam stereotip gender yang membatasi. Artikel ini akan mengkaji bagaimana konsep dasar feminisme dapat diterapkan untuk menganalisis dan mengkritisi budaya patriarki yang masih mengakar dalam media Indonesia.

Littlejohn et al. (2017) menyatakan bahwa feminisme dalam kajian budaya berfokus pada bagaimana makna gender dikonstruksi dan direproduksi melalui praktik-praktik budaya, termasuk media. Di Indonesia, meskipun jumlah jurnalis dan pekerja media perempuan meningkat, konten media masih sering mencerminkan nilai-nilai patriarki. Misalnya, iklan produk rumah tangga yang hampir selalu menampilkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, atau berita kriminal yang cenderung menyalahkan korban perempuan.

Pendekatan feminisme dalam kajian budaya mengajak kita untuk membongkar asumsi-asumsi yang dianggap normal ini. Seperti dikatakan Littlejohn, teori feminis bertujuan untuk mengungkap bagaimana ketidaksetaraan gender dibangun dan dipertahankan melalui wacana dominan. Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti menantang narasi-narasi yang menempatkan perempuan hanya dalam peran domestik atau sebagai objek seksual.

Salah satu contoh nyata adalah representasi perempuan dalam sinetron Indonesia. Mayoritas karakter perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah, emosional, dan bergantung pada laki-laki. Padahal, realitas menunjukkan banyak perempuan Indonesia yang mandiri dan berkarir. Kesenjangan representasi ini berkontribusi pada pelanggengan stereotip gender yang merugikan.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan kritis terhadap produksi dan konsumsi media. Para pembuat konten perlu lebih sadar akan bias gender dan berupaya menampilkan keragaman peran perempuan. Di sisi lain, audiens juga perlu dibekali literasi media untuk dapat mengidentifikasi dan mempertanyakan stereotip gender yang ditampilkan.

Littlejohn menekankan bahwa feminisme bukan hanya tentang kesetaraan, tetapi juga tentang mengubah struktur kekuasaan yang melanggengkan ketidaksetaraan. Dalam konteks media Indonesia, ini berarti mendorong lebih banyak perempuan untuk menduduki posisi pengambil keputusan di industri media, serta menciptakan ruang bagi suara-suara perempuan yang beragam.

Upaya ini telah mulai terlihat, misalnya melalui munculnya media-media alternatif yang berfokus pada isu gender. Namun, masih diperlukan perubahan sistemik yang lebih luas, termasuk reformasi kebijakan media yang lebih sensitif gender dan pendidikan jurnalisme yang mengintegrasikan perspektif feminis.

Kesimpulannya, penerapan konsep dasar feminisme dalam kajian budaya dan media di Indonesia masih sangat relevan dan mendesak. Dengan membongkar struktur patriarki dalam media, kita dapat berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih adil dan setara gender. Hal ini bukan hanya perjuangan kaum perempuan, tetapi tanggung jawab seluruh masyarakat untuk menciptakan narasi media yang lebih inklusif dan representatif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun