Kejahatan Konstitusionalitas DPR dan pemerintah adalah alarm peringatan darurat yang memanggil untuk terus dikawal, dengan begitu kita perlu memetakan apa saja dalam waktu dekat tugas pengawalan kita atas tindak jahat tersebut:
- RUU Pilkada yang belum di paripurnakan, sebab rangkaian penyusunan RUU masih berjalan. mengapa ini perlu terus diperhatikan? DPR membatalkan rapat karena alasan kuorum yang belum terpenuhi, bukan karena mendengarkan aksi massif demonstrasi massa menyuarakan aspirasinya, kita tidak bisa dibodohi mengingat intrik internal DPR yang bermasalah dan sangat politis, hal itu yang melatarbelakangi masyarakat perlu tetap fokus mengawal RUU ini setidaknya sampai tanggal 27 Agustus atau hari terakhir pendaftaran Calon Kepala Daerah. momentum kebangkitan bersuara terlihat masih akan terus meningkat, itu yang mungkin mendasari DPR membatalkan Rapat pengesahan RUU Pilkada yang berarti upaya peredaman massa aktif.
- KPU yang berkonsultasi dengan DPR terkait putusan mana yang akan digunakan untuk pelaksanaan Pilkada serentak November nanti bisa saja membiarkan aspirasi publik. KPU memiliki 2 pilihan keputusan pelaksanaan peraturan, pertama yaitu putusan MA yang terdahulu dengan amar putusan terkait umur Ketika penetapan yang berarti membuka jalan bagi Kaesang yang belum genap 30 tahun. lalu yang kedua adalah putusan MK yang sehari setelahnya di putuskan Baleg DPR RI masuk agenda Rapat Paripurna dimana hanya dibahas dalam Waktu sekejap, unik, aneh, anomali dan penuh dugaan.
Dalam putusan tersebut MK memutuskan Perubahan ambang batas atau threshold pencalonan calon gubernur dan calon wakil gubernur, yaitu partai politik atau gabungan partai politik atau calon independen diperbolehkan mengusung atau diusung untuk maju dengan syarat memenuhi kebutuhan threshold sebanyak 7,5% dari awal 20%. itu artinya selain membuka kesempatan calon macam anies baswedan dengan elektabilitas tertinggi mengutip berbagai survei. kunci kedepannya adalah memastikan PKPU menaati Konstitusi dan memahami hierarki peraturan perundang-undangan yaitu putusan MK.
Selain mengikat dan final putusan yang setara UU ini juga menganulir putusan sama dibawahnya, dengan begitu sebagai catatan jika PKPU untuk Pilkada bukan mengacu pada putusan MK maka KPU melakukan praktik inkonstitusionalitas. Seperti kasus putusan 90 yang meloloskan Gibran, PKPU praktis tidak perlu mengubah/revisi peraturan KPU, sebab putusan tersebut berlaku saat putusan dibacakan tanpa perlu perubahan dan persetujuan DPR.Â
pengawasan hari ini tidak bisa dipercayakan pada DPR sebagai lembaga pengawas, people power yang siaga menyerukan peringatan darurat atas kegagalan konstitusional DPR dan Pemerintah, masyarakat bertanggung jawab mengadili kejahatan konstitusional. perjuangan dan peradilan meruntuhkan kesombongan dan kedigdayaan pemerintah yang berlaku semaunya atas tangan-tangan lemah rakyat.
Haqqul yaqin penguasa siap menyiapkan macam-macam rencana lanjutan menanggapi kekalahannya, misalnya presiden amat mungkin mengeluarkan perppu pengunduran waktu pelaksanaan Pilkada dari November ke februari sembari menunggu Kaesang terpenuhi umurnya. Tugas kita adalah terus mengawal dan menganalisa semua kemungkinan terburuk dan terlicik pemerintah, hal tersebut berarti menjadikan tiap-tiap pergerakan penguasa disertai ketidakpercayaan dan kecurigaan.
Masyarakat sudah terlalu lelah memandang akrobatik politik yang ditampakkan hampir semua Lembaga Negara. Mahkamah Konstitusi setidaknya mulai berbenah dan berupaya memperbaiki citranya pasca putusan 90 yang memudarkan kepercayaan rakyat namun mendekatkan pada kesenangan penguasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H