Bila Anda tinggal di perumahan Plamongan Indah Semarang dan punya mobilitas yang tinggi ke arah kota Semarang, pasti suatu ketika pernah mengalami hal yang menurut saya rutin terjadi di sekitaran pertigaan jalan masuk ke perumahan. Macet, ya itulah momok yang sudah membuat kesal dan putus asa warga perumahan maupun orang yang melintas malalui jalan tersebut. Saat pergantian shift karyawan suatu pabrik garment yang berada di sana, suasana pasti menjadi panas, apalagi kalau turun hujan deras, bukannya mendinginkan, tapi malah memanaskan suasana. Hujan yang deras menambah penderitaan si korban kemacetan, karena dengan adanya bangunan Central City Mall yang dihuni oleh Giant dan kawan-kawan, saluran drainase di sepanjang jalan mulai dari terminal penggaron sampai dengan pertigaan jalan masuk ke perumahan menjadi tidak lancar. Entah karena desain salurannya yang kekecilan atau salurannya tertutup sampah, yang jelas air banyak menggenang, bahkan sampai banjir bila terjadi hujan yang sangat deras. Padahal dahulu sebelum dibangun Mall, saat masih berupa hutan kelapa, air tidak sampai menggenangi jalan.
Ada beberapa faktor yang menurut saya menjadi penyumbang parahnya kemacetan disana. Diantaranya adalah:
- Angkot dan bus yang ‘ngetem’ sembarangan yang jumlahnya cukup banyak sampai memakan separo badan jalan. Disini keadaannya sangat semrawut sekali, angkot/bus yang sudah penuh terisi penumpang tidak bisa langsung keluar karena saling berhimpitan. Maju kena mundur kena.
- Sepeda motor para penjemput yang parkir sembarangan. Umumnya yang bekerja di pabrik garment berjenis kelamin perempuan. Parahnya lagi jumlah karyawan yang menggunakan sepeda motor sendiri jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang dijemput. Kebanyakan mereka diantar/dijemput oleh suami, saudara, teman, dll. Tentu bagi mereka sepeda motor yang bisa dipakai untuk keperluan macam-macam lebih bernilai ekonomis daripada cuma ‘nganggur’ di tempat parkir selama mereka bekerja. Sepeda motor itu bisa dimanfaatkan untuk ‘ngojek’, mengantar ke sekolah anak-anak, atau untuk usaha yang lainnya.
- Pedagang kaki lima di sekitaran depan pabrik. Kalau dilihat, walaupun tempatnya tidak layak, becek, dan sempit sekali, para pedagang kaki lima cukup antusias menggelar dagangannya disana, mulai dari berjualan makanan, nasi kucing, sandal jepit, peralatan dapur, jaket import, pakaian dalam, mainan anak-anak, tiga macam 10 ribu, semuanya berbaur jadi satu membuat ‘perkemahan’ disana. Yang katanya walaupun cukup dengan menggelar dagangannya dalam waktu yang singkat, yakni saat karyawan masuk atau pulang kerja, tapi omsetnya luar biasa dibanding menggelar dagangan di tempat lain yang lebih layak dan buka 24 jam.
- Karyawan pabrik menyeberang dengan seenaknya. Sebetulnya bukan salah mereka, karena memang tidak ada sarana yang membantu mereka untuk menyeberang, walaupun cuma sekedar zebracross.
Tetapi kalau dilihat, kemacetan telah berhasil membuat tidak ada batas, memukul rata semua strata golongan ekonomi, baik yang kaya, kelas menengah, miskin, semua umur, yang tua, muda, bayi semua menderita. Bila biasanya yang kena imbas dari sebuah musibah adalah orang yang miskin, kali ini semuanya ikut kena imbasnya, bahkan masyarakat kelas menengah ke bawah yang menggunakan sepeda atau sepeda motor bisa lebih cepat keluar dari suasana yang tidak mengenakkan itu dibandingkan masyarakat kelas atas yang menggunakan mobil yang tidak bisa untuk ‘nyelip-nyelip’ diantara celah-celah kecil yang ada; prinsip para pemaakai sepeda motor, pokoknya asal setang bisa masuk, maka yang ada dibelakangnya pasti bisa lewat. Kekhawatiran melanda semua golongan, mulai dari yang pakai mobil Mercy, yang was-was kalau-kalau mobilnya ‘mbaret’ sampai dengan yang mengendarai sepeda yang was-was kalau-kalau sopir bus dibelakangnya tidak sabar dan main nylonong kedepan karena terlambat menginjak pedal rem. Semua menderita. Ditambah lagi kalau ada truk sampah atau truk yang memuat ayam-ayam yang siap untuk dipotong yang juga ikut terjebak kemacetan, menambah suasana semakin tidak enak, karena baunya yang luar biasa menyengat, itu belum termasuk asap polusi dari kendaraan dan bus yang luar biasa hitam warnanya.
Kemacetan telah memberikan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat yang menjadi korbannya. Orang yang pulang kerja tapi harus molor sampai ke rumah karena macet, mengurangi waktu untuk bertemu keluarga dirumah yang waktuya jauh lebih singkat dibanding waktu yang dipergunakan di tempat bekerja. Orang yang butuh cepat mengantar barang atau sopir yang butuh cepat untuk mengantar orang juga waktunya terbuang sia-sia.
Apakah memang sudah tidak ada solusi untuk mengatasi kemacetan ini??? Mengingat hal ini sudah terjadi cukup lama sekali tetapi tidak ada yang mau merubah suasana ini. Padahal kalau kita mengintip ke bagian dalam gapura jalan masuk ke dalam pabrik, jalannya begitu lebar dengan median jalan di tengahnya, mulus, bersih dari kotoran dan bersih pula dari manusia, dan disebelah kanan kirinya begitu lapang. Mengapa tidak ada kebijakan dari manajemen pabrik untuk merubah keadaan menjadi lebih baik? Saya ingin memberikan masukan, siapa tahu ini bisa menjadi inspirasi buat orang yang berwenang dan mau mengatasi persoalan ini:
- Angkot dan bus dibuatkan halte di jalan masuk kedalam pabrik. Lokasi jalan masuk kedalam pabrik, bila dilihat dari luar cukup panjang dan cukup lapang, saya pikir jika cuma sekedar membuat halte didalam tidak akan mengurangi kelancaran jalan keluar masuk ke pabrik. Kalau mungkin alasannya keamanan, maka bisa dibuatkan pintu gerbang lagi di bagian dalam. Jadi pakai model pintu berlapis. Untuk angkot dan bus yang ‘ngetem’, mungkin bisa diatur boleh mulai ‘ngetem’ jam berapa dan jumlahnya maksimal berapa, dan setelah penuh harus segera keluar dari halte, setelah ada angkot atau bus yang keluar, baru boleh berikutnya masuk lagi. Untuk tugas ini bisa diberikan kepada tenaga satpam pabrik tersebut, daripada menugaskan satpam untuk mengatur lalu lintas di depan pabrik, yang teriakan dan peluitnya menjadi mubazir karena memang kendaraan sudah tidak bisa diatur, maju kena - mundur kena. Ini toh juga buat keselamatan para karyawan pabrik yang akan mengguanakan angkot atau bus itu.
- Menyiapkan area untuk tempat parkir para penjemput. Untuk lokasi bisa disebelah halte, dan aturannya mungkin bisa dibuat mirip-mirip dengan mengatur bus atau angkot, mengenai waktu dan batasan lokasinya.
- Pedagang kakilima memang menjadi masalah di tempat-tempat keramaian. Dalam hal ini manajemen pabrik harus tegas, melarang atau memperbolehkannya. Kalau memang diperbolehkan, harus disediakan area nya yang tidak mengganggu kelancaran pengguna jalan, bisa dibuatkan bangunan semi permanen, kemudian para pedagang bisa menyewa area tersebut. Saya yakin para pedagang akan mau diajak kerjasama, asal semuanya jelas, mengingat omset disana yang cukup besar.
- Untuk karyawan yang menyeberang, bisa dibuatkan jembatan penyeberangan, agar karyawan tidak was-was saat menyeberang dan tidak mengganggu kelancaran para pengguna jalan.
Saya yakin dengan pabrik sebesar itu, melakukan perbaikan-perbaikan seperti diatas tidak terlalu menjadi masalah baik dari segi keuangan maupun teknisnya. Masalah keselamatan bekerja memang harus menjadi perhatian utama dari suatu pabrik. Dan alangkah baiknya bila manajemen pabrik dapat membuat karyawannya menjadi nyaman dan merasa aman saat berangkat dan pulang kerja, disamping itu juga tidak mengganggu kelancaran dan keselamatan para pengguna jalan raya. Jadi ibarat pepatah mengatakan “sekali merengkuh dayung, semua pihak terpuaskan”.
Sumber Gambar: Karikatur Harian KOMPAS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H