Saya ingin bercerita mengenai sebuah percobaan dalam bidang psikologi klinik yang dilakukan oleh seorang profesor dari Universitas Yale (Amerika Serikat) pada tahun 60-an, Stanley Milgram (http://en.wikipedia.org/wiki/Milgram_experiment) dan kemudian menghubungkannya dengan perilaku sebagian pemilih dalam Pemilihan Presiden 2014 di Indonesia yang baru saja berlalu.
Percobaan Milgram dikritik sangat keras karena dianggap tidak memenuhi kaidah etika penelitian pada manusia. Kini, percobaan Milgram banyak digunakan oleh pengajar etika penelitian sebagai contoh penelitian yang tidak memenuhi kaidah etika. Namun demikian, hasilnya sungguh merupakan revolusi dalam bidang psikologi klinik, khususnya dalam memahami kepatuhan manusia terhadap perintah otoritas.
Percobaan Milgram ini dimulai hampir bersamaan dengan pengadilan terhadap salah satu penjahat Perang Dunia II, Adolf Eichmann, yang seorang Nazi. Percobaan Milgram berpusat pada pertanyaan apakah Eichmann dan teman-teman Nazi-nya melakukan semua kekejaman selama PD II itu karena semata-mata menjalankan perintah atasannya ?
Percobaan ini melibatkan 3 pihak : Peneliti, "Guru" dan "Murid". "Guru" dan "Murid" hanya istilah yang digunakan untuk menggambarkan peran mereka masing-masing dalam skenario penelitian ini. Mereka direkrut dari kalangan orang awam yang dibayar untuk menjadi subjek penelitian ini. Peneliti memberi perintah pada Guru untuk memberi test pada Murid. Jika Murid memberi jawaban salah, Guru diperintahkan untuk memberikan kejutan listrik kepada Murid secara bertahap dari yang paling rendah (15 Volt) sampai yang paling tinggi dan dapat mematikan (450 Volt). Pada kenyataannya, sebenarnya, Murid tidaklah sama sekali mengalami kejutan listrik. Mereka hanya disuruh berpura-pura berteriak kesakitan setiap kali sang Guru menekan tombol kejutan listrik. Pada tahap kejutan listrik yang tinggi, Murid diperintahkan untuk memukul-mukul dinding dan memohon agar percobaan dihentikan. Jadi, secara tidak disadari, yang menjadi subjek penelitian ini sesungguhnya adalah para "Guru", yaitu untuk menilai kepatuhan mereka terhadap perintah otoritas, yaitu Peneliti.
Hasilnya, 24 dari 40 (65%) dari para "Guru" menjalankan perintah Peneliti dan memberikan kejutan listrik kepada "Murid" sampai pada tegangan paling tinggi (450 Volt), walaupun ke-24 "Guru" tersebut menunjukkan tanda-tanda tingkat stres yang ekstrim. Penelitian ini kemudian dicoba juga oleh banyak peneliti lain diberbagai belahan dunia dan hasilnya sama. Setelah begitu banyak penelitian serupa, sebuah meta-analysis kemudian menyimpulkan bahwa prosentase "Guru" yang bertahan hingga memberikan tegangan listrik tertinggi berkisar antara 61 - 66 persen.
Percobaan ini menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap otoritas (komandan militer, pemerintah, atasan, ulama, pendeta, tokoh agama dan lain-lain) mampu membuat sebagian orang melakukan tindakan yang tidak akan dilakukannya dalam situasi normal. Percobaan ini juga menunjukkan bahwa figur otoritas memiliki pengaruh determinan bagi sebagian orang dalam mengambil keputusan hidupnya.
Perilaku sebagaian pemilih dalam Pemilihan Presiden 2014 di Indonesia menurut saya dapat dijelaskan dengan hasil penelitian ini. Banyak kita lihat pemilih yang memilih calon presiden tertentu semata-mata karena mengikuti perintah ustadz-nya. Bahkan sebagian menyatakan bahwa hati-nya sebenarnya ingin memilih salah satu capres, tapi ustadz-nya memberinya instruksi memilih calon yang lain. Mereka bahkan tidak begitu peduli, apakah deal politik yang terjadi antara ustadz yang menjadi figur otoritasnya itu dengan tim pemenangan salah satu capres betul-betul terkait dengan kesejahteraannya atau keyakinan agamanya. Bahkan kita saksikan ulama yang mengeluarkan fatwa haram memilih salah satu calon presiden yang lain.
Setelah 9 Juli (hari H pencoblosan) dan 22 Juli (hari pengumuman hasil Pilpres oleh KPU) juga kita saksikan pengaruh figur otoritas terhadap pengikut-pengikutnya. Ketika salah satu capres menolak hasil Pilpres, tidak peduli betapa tidak masuk akalnya penolakannya itu, maka berbondong-bondonglah para pengikutnya untuk juga menolak hasil Pilpres. Kita saksikan juga bagaimana otoritas mempengaruhi persepsi publik mengenai benar dan salah, baik dan buruk atau bahkan fakta dan fiksi.
Kita saksikan bersama bahwa baik penelitian ilmiah maupun peristiwa kontemporer menunjukkan peran sentral figur otoritas, tidak peduli seberapa tinggi tingkat pendidikan orang dan tidak peduli setinggi apa peradaban sebuah masyarakat. Dengan demikian pelajaran dan peringatan paling berharga sesungguhnya adalah bagi orang-orang yang memegang posisi sebagai otoritas (komandan militer, pemerintah, atasan, ulama, pendeta, tokoh agama dan lain-lain). Orang-orang ini perlu menyadari bahwa apa yang keluar dari lisan dan tulisannya, bahwa apa yang dipostingnya di wall facebook-nya atau twitternya atau instagramnya (entah forward dari sumber lain atau hasil karyanya sendiri), bahwa apa yang mereka sampaikan dalam ceramah-ceramahnya memiliki pengaruh sangat dahsyat bagi para pengikutnya.
Abu 'Abdillah Ibn Battutah meriwayatkan dari al A'masy dari Syaqiq dari Abdullah Ibn Mas'ud radiyallahu anhu berkata (https://www.facebook.com/notes/tahu-faham-dan-amal/adabdisiplin-ilmu-peringatan-kepada-orang-yang-jahil-namun-berani-mengeluarkan-f/200644733312313?ref=nf) :
"Demi Allah, seseorang yang memberi fatwa bagi setiap soalan adalah orang gila".
Tentunya dengan tanpa mengurangi hormat bagi para ulama yang telah mencurahkan ilmunya bagi praktik dan paham keagamaan umat Islam, mereka ulama yang benar, adalah orang-orang yang sungguh menyadari betapa dahsyat berbahaya peran dan posisinya.
Kota Bharu, 28 Juli 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H