Langit sudah menampakkan cahayanya. Suara hiruk pikuk kendaraan menusuk telinga. Hawa panas kota Jakarta menyergap pori-pori kulit. Aroma sungai yang berwarna hitam penuh sampah tak kalah menusuk indra penciuman ku. Aku baru terbangun dari tidur lelap ku di atas kasur tipis ini. Aku tahu hari ini adalah hari yang sangat spesial buatku tapi semangatku tak setangguh dulu lagi. Hari ini di mana di seluruh pelosok negeri akan memperingatinya sebagai hari pahlawan. Mengadakan apel peringatan mulai dari sekolah-sekolah, instansi swasta maupun pemerintah sampai ramai-ramai di lapangan-lapangan. Semangatku semakin melemah sejurus dengan lemahnya tubuh ini. Ya.. akulah salah satu sisa-sisa sejarah perjuangan.
Kuguyurkan air demi membasahi kulitku. Menghilangkan sisa-sisa kantuk untuk menyegarkan badan dan mengembalikan semangatku lagi untuk menghadiri undangan spesial dari petinggi negeri ini. Sekarang aku sudah berdiri tanpa busana di depan cermin. Bulir-bulir air sisa yang tak tertangkap kain handuk menetes satu-satu. Ku pandang lamat-lamat lewat mata tuaku. Tubuhku sudah tak setegap dulu lagi, sewaktu usiaku masih terbilang muda. Masih kuat bertenaga mengangkat senjata. Kulit tubuhku yang telah hilang keelastisannya membungkus rangka pembentuk raga. Helai rambut tipis jarang yang memutih tak dapat menyembunyikan kejamnya waktu menggilasku. Bekas peluru yang bersarang di pangkal pahaku masih terpampang jelas, masih terasa ngilunya membuat jalanku terseok-seok aneh sampai sekarang.
Kubalut satu persatu tubuh ringkih ini dengan pakaian kebesaran yang selalu ku kenakan setiap perayaan-perayan besar negeri ini. Perlahan-lahan dengan penuh penghayatan. Sekilas terbersit kebanggan dalam hati mengenakannya. Gemetar badanku menatap sosok gagah terpantulkan cermin dihadapan. Hari ini, sekali lagi kukenakan pakaian kebesaran dengan peci hujau bersematkan pin dwi warna. Deretan bintang-bintang jasa turut bergelantungan diatas saku kiriku. Tak ketinggalan tongkat kayu yang selalu menemaniku dan mengokohkan pijakanku diatas bumi.
Kulangkahkan kaki ini dengan pasti menuju tempat undangan yang sudah dipenuhi para pembesar berjas lengkap dengan kaca mata hitam. Deretan ibu-ibu dengan kebaya dan konde yang berjajar rapi. Tak perduli akan kedatanganku yang berjalan terseok-seok. Mata-mata mereka hanya tertuju pada sosok petinggi berjas yang sedang berbicara di atas podium. Sayup-sayup dapat ku tangkap beberapa kata “ … dengan semangat kepahlawanan kita bangun karakter bangsa…” sontak di ikuti tepuk tangan riuh dari para undangan yang sedikit mengagetkanku dan hampir saja membuatku jatuh tersungkur.
Aku masih berusaha berjalan memapah badan ini dengan bantuan tongkat menuju beberapa orang yang berpakaian sama denganku. Mereka menyambutku dengan salam dan di ikuti dengan pelukan hangat. Kami saling bercengkrama, menanyakan kabar satu sama lain yang sudah lama tak bertemu. Kami tak perduli dengan apa yang sedang di ucapkan petinggi di depan kami. Tak terasa seluruh prosesi apel telah selesai dan tibalah pada sebuah prosesi yang selalu sama setiap tahunnya. Ditandai dengan di panggilnya nama kami satu-persatu untuk naik diatas podium.
Kami berdiri berjajar diatas podium dengan semua mata tertuju pada kami. Seorang petinggi memberikan satu lagi bintang jasa dan menyematkan pada dada kami. Tak ketinggalan salam dan peluk hangat dari beliau.
Hari ini, sekali lagi bertambah satu bintang jasa yang tersemat di dada. Namun sesaknya di dalam dada masih terasa.
Hati kami berkecamuk Kami tidak ingin semua bintang-bintang jasa ini Kami anggap ini hanya simbol-simbol sesaat Yang hanya menjadi kebanggaan orang-orang di sekeliling kami Bukan kebanggaan kami sendiri Kami hanya berharap sesuatu diberikan negeri ini Yang dapat menyambung sisa hidup kami Tanpa ada perjuangan seperti dulu lagi Kami ingin menikmati sisa-sisa umur ini Dengan perasaan bahagia… Di atas Meja Kerja 10 November 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H