Mohon tunggu...
Teza Salih Mauludin
Teza Salih Mauludin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Pidana FH Unpad

Hobu main futsal

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menakar Restorative Justice Kasus Bullying Siswa Binus Serpong

18 Maret 2024   15:47 Diperbarui: 18 Maret 2024   18:41 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ultimum Remedium. Prinsip ini sangat relevan untuk menyikapi isu yang terjadi dalam kasus bullying/perundungan "Geng Tai" siswa Binus School Serpong. Dari prinsip ini jelas bahwa hukum pidana bukan satu-satunya sarana penyelesaian yang hanya dapat ditempuh. Hukum pidana harus ditempatkan sebagai senjata terakhir dalam penegakan hukum. Hukum pidana yang berbasis pada pemulihan lebih tepat dikedepankan sepertihalnya Restorative justice.

Sebagaimana diketahui kasus bullying/perundungan terjadi di Sekolah Menengah atas (SMA) kenamaan Binus Serpong Tanggerang. Perundungan tersebut dilakukan oleh sekitar 11 siswa anggota 'Geng Tai/GT'. Salah satu siswa dari anggota geng tersebut yang mendapat sorotan publik merupakan anak dari presenter beken Vincent Rompies. Korban dan pelaku bullying yang statusnya masih pelajar SMA jika masih berusia dibawah 18 tahun sebagaimana UU Perlindungan Anak tergolong sebagai anak. Maka dari itu pendekatan penegakan hukum yang dikedepankan pun menggunakan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Konsep penegakan hukum pada anak berbeda dengan orang dewasa. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa pada anak terdapat hak-hak anak yang harus diberikan perlindungan lebih seperti diperlakukan secara manusiawi, dipisahkan dari orang dewasa, tidak dijatuhi pidana mati atau seumur hidup, tidak ditangkap ditahan atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan itupun harus singkat juga, tidak dipublikasikan identitasnya, dan hak-hak lainnya sebagaimana yang diakomodir dalam Pasal 3 UU SPPA.

Pada saat saat yang sama anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan pelanggaran hak tersebut. Maka dari itu sebagaimana Pasal 5 ayat 1 UU SPPA pendekatan keadilan restoratif melalui diversi wajib dikedepankan dalam penegakan hukum kasus bullying Binus Serpong.

Pasal 1 angka 6 UU SPPA menjelaskan keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sederhananya dalam pendekatan keadilan restoratif tidak ada win-lose (menang-kalah), tapi win-win solution atau saling menguntungkan diantara kedua belah pihak. Upaya win-win solution tersebut dilakukan dengan proses diversi melalui musyawarah di luar peradilan pidana.

Musyawarah dilakukan sebagai upaya agar tercipta perdamaian. Hal ini juga yang diharapkan Vincent saat diwawancarai setelah melakukan pemeriksaan di kepolisian bahwa ingin cepat selesai masalah ini dengan mengedepankan kekeluargaan. Musyawarah dilakukan melibatkan para pelaku, korban, dan para pihak yang terlibat duduk bersama mencari upaya penyelesaian masalah. Secara mutatif mutandis dibarengi juga proses pemulihan hak-hak korban yang sebelumnya terampas. Pemulihan tersebut berupa rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial. Baik kesepakatan damai maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya untuk memulihkan korban dituangkan dalam surat kesepakatan.

Melihat pada perkembangan kasus bullying tersebut polisi menyebutkan adanya dugaan pelanggaran Pasal 76C Jo Pasal 80 UU Perlindungan Anak dan/atau Pasal 170 KUHP. Dugaan pelanggaran tersebut termasuk dalam dakwaan kombinasi, artinya didakwa dengan beberapa tindak pidana yang satu persatu harus dibuktikan. Pasal 76C Jo Pasal 80 UU Perlindungan anak sederhananya diancaman pidana paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak 72 juta apabila setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Kemudian Pasal 170 KUHP berbunyi "barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan". Dalam ayat berikutnya jika mengakibatkan luka berat ancaman pidananya 9 tahun. Tapi pasal 170 KUHP ini nampaknya tidak sesuai karena para pelaku maupun korbannya merupakan anak.

Maka dari itu upaya keadilan restoratif melalui diversi sebagaimana Pasal 6 ayat 1 UU SPPA dapat diupayakan dalam berbagai tahapan proses hukum. Terlebih kepolisian, kejaksaan atau bahkan pengadilan mempunyai aturannya sendiri terkait keadilan restoratif.

1. Tingkat penyidikan (Kepolisian)

Kepolisian melalui Peraturan Kepolisian Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dapat mengupayakan restorative justice dalam kasus bullying siswa Binus Serpong. Karena kasus tersebut sudah ditingkatkan kepada tahap penyidikan sebagaimana dilansir detikNews "Babak Baru Kasus Bullying Siswa Binus School Serpong", maka penanganan dapat dilakukan penghentian penyelidikan dan penyidikan menurut Pasal 2 ayat (5).

Proses penanganan tersebut harus memenuhi persyaratan umum yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil sebagaimana dimaksud Pasal 5 meliputi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun