Sejak beberapa waktu lalu, pembicaraan terkait surplus produksi Semen di tanah air sudah menjadi diskusi banyak pihak. Baik dari kalangan produsen semen, konsumen dan bahkan kalangan pemerintah dan legfislatif. Kekhawatiran akan terjadinya oversupply produksi semen nasional kini menjadi kenyataan dengan diumumkannya angka bahwa produksi semen di tanah air mengalami kelebihan dari kebutuhan real pembangunan yang tengah galak galaknya dilakukan oleh pemerintah.
Dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VI DPR RI dengan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengakui bahwa saat ini produksi semen dalam negeri mengalami surplus hingga 40 juta metrik ton per tahun. Karena itu, desakan untuk terus melakukan moratorium pembangunan pabrik semen harus terus dipertahankan hingga kebutuhan dan produksi dapat diseimbangkan.
Tentu saja persoalan ini tidak bisa dipandang remeh dan harus disikapi secara serius. Kenapa demikian, karena jika supply semen terus bertambah sementara disisi lain kenbutuhan dalam negeri khususnya untuk pembangunan infrastruktur tidak mengalami kenaikan, bisa bisa nanti akan menjadi boomerang bagi dunia industeri semen di dalam negeri.
Saya menyarankan kepada pemerintah dalam hal ini kementrian dan lembaga terkait untuk menelaah dan meninjau ulang dengan detail pengajuan izin pembangunan pabrik semen yang sudah terlanjur di setujui. Sebagaimana kita tahu saat ini, akibat surplus tersebut, saat ini utilisasi pabrik semen yang ada di Indonesia hanya mencapai 66 persen. Artinya sudah ada beberapa line pabrik dalam suatu perusahaan berhenti produksi guna menghindari kenaikan angka surplus yang jauh lebih tinggi.
Berdasarkan data produksi semen dari tahun ke tahun yang disampaikan kepada Komisi VI, sejak tahun 2017 silam, sudah terjadi kelebihan produksi yang cukup signifikan dan melebihi kebutuhan semen dalam dan pemenuhan kapasitas ekspor. Tahun itu saja, sudah terjadi surplus sebesar 28 juta ton dan. Sementara itu, pada tahun 2018, terjadi peningkatan surplus mencapai 30 juta ton.
Berdasarkan data data tersebut, maka dapat diterik kesimpulan bahwa sejak tahun 2016 hingga tahun 2021 yang lalu, sudah terjadi kelebihan kapasitas produksi yang sejak awal tidak diperhitungkan dengan seksama.
Saya mengkhawatirkan surplus 40 juta ton semen ini akan menjadi persoalan yang akan sulit dicarikan jalan keluarnya jika terus saja angka itu bertambah. Kita juga harus menghitung efek domino dari hal tersebut. Oleh karena itu, jika dibiarkan terus menerus, maka hal itu bisa saja mengakibatnya timbulnya permasalahan baru khususnya pada tenaga kerja.
Sebelumnya, Asosiasi Semen Indonesia (ASI) pernah mengungkapkan fakta bahwa beberapa produsen semen terpaksa harus menyetop sebagian pabriknya karena stok di gudang penyimpanan sudah penuh. Bahkan beberapa diantaranya ada yang sudah menyimpan klinker (produk setengah jadi) di open yard, karena gudang penuh.
Maka oleh sebab itu, lamngkah moratorium pabrik semen adalah langkah yang paling tepat untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. Dengan penghentian izin pembangunan pabrik baru ini nanti, maka diyakini akan mampu menekan produksi dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan dalam negeri yang tengah berjalan.
Saya menilai, perkembangan pembangunan infrastruktur nasional sebagaimana menjadi core program pemerintahan saat ini, diyakini akan mampu menyerap peningkatan produksi yang sangat besar.
Oleh sebab itu, saya menyarankan, untuk mengatasi over supply ini, pemerintah harus mengenjot ekspor semen ke pasar pasar potensial seperti Asia Selatan, Amerika Latin dan juga Eropa. Upaya ekspor ini tentu saja menjadi salah satu harapan untuk mempertahankan kinerja pabrik semen di tanah air.