CPO (Crude Palm Oil) ke luar negeri dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan stock CPO dan Minyak Goreng dalam negeri yang sempat mengalami krisis sejak Februari 2022 lalu. Dengan adanya pelarangan ekspor tersebut, sedikit banyak mempu membuat stock minyak goreng dalam negeri kembali membaik. Namun disisi lain, barat pisau bermata dua, akibat adanya keputusan pemerintah tersebut, harga TBS (Tanda Buah Segar) dari petani pemilik kebun sawit menjadi tidak terkendali. Media massa nasional banyak memberitakan bahwa akibat keputusan tersebut, banyak petani dan pemilik kebun sawit menjerit keras karena harga TBS yang tadinya mencapai empat ribuan per kilo gram, malah jatuh sampailima puluh persen dari harga sebelumnya.
Pada April 202 silam, Pemerintah pusat resmi melarang petani dan pengusaha sawit untuk mengeksporIndonesia, selama ini dikenal sebagai negara pengekspor CPO terbesar di Asia Tenggara yang diikuti oleh Malaysia. Sebagai negara penghasil sawit terbesar, peristiwa kelangkaan minyak goreng yang membuat resah masyarakat tersebut tentu saja menjadi ironi ketika sebagian besar warga masyarakat kesulitan mendapatkan minyak goreng yang seharusnya dengan mudah dapat mereka peroleh dengan harga terjangkau.
Dalam sebuah rapat di Komisi VI bersama Menteri Perdagangan beberapa waktu lalu, saya sempat mempertanyakan penyebab kelangkaan minyak goreng tersebut kepada Pemerintah. Dalam pandangan saya, pemerintah masih kuang serius dan kesulitan dalam mengendalikan ketersediaan minyak goreng untuk kebutuhan masyarakat. Hal itu kemudian makin di perparah dengan berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah dinilai tidak mampu mengatasi persoalan minyak goreng, baik dalam hal ketersediaan stock di pasaran dan gudang logistik maupun dalam hal pengendalian harga di tengah masyarakat.
Meski ada jawaban dari Pemerintah yang menyatakan bahwa mereka telah berupaya mengatasi kelangkaan dan
menstabilkan harga dengan menerbitkan berbagai aturan antara lain domestic market obligation (DMO) serta price domestic obligation (PDO) namun hal itu belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dan memecahkan masalah.
Akar masalah dari persoalan kelangkaan minyak goreng ini pada dasarnya bukanlah pada ketersediaan stock di gudang logistik milik pemerintah dan atau swasta, namun dalam kacamata saya justru pada integritas beberapa pihak yang tidak bisa menahan diri dari godaan tingginya harga jual CPO di pasar regional dan global.
Kita mengapresiasi aparat kejaksaan agung yang telah menangkap dan memeriksa beberapa nama yang disinyalir sebagai pelaku dan mafia minyak goreng yang membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Terakhir, setelah sebelumnya menangkap dan mentersangkakan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Kejaksaan Agung juga menahan dan mentersangkakan seorang tokoh terkenal dengan tuduhan ikut terlibat dalam ekspor minyak goreng ke luar negeri.
Selain persoalan integritas pihak yang berkepentingan dalam menjaga stabilitas stock dan harga CPO dan Minyak Goreng, persoalan lain adalah Pemerintah terkesan maju mundur dalam menetapkan keputusan yang tepat terkait persoalan dimaksud. Pelarangan ekspor CPO pada April lalu yang kemudian direvisi dengan mengizinkan ekspor mulai pekan depan adalah bukti bahwa kebijakan yang disampaikan tidak ditelaah dan ditetapkan dengan baik.
Jatuhnya harga TBS dari petani yang menimbulkan protes tentunya sudah harus diprediksi jauh hari sebelumnya. Harus diketahui bahwa ketika kebijakan larangan ekspor ditetapkan, harga komoditi perkebunan ini tengah meroket di pasar regional, sehingga banyak petani mendapatkan hasil yang melimpah. Sehingga ketika aturan pelarangan dikeluarkan tentunya akan berdampak buruk pada harga jual komoditi dari kebun masyarakat.
Sejak awal sekali lagi saya menegaskan pandangan dan usulan saya bahwa persoalan penangkapan oknum pejabat dan pelaku yang diduga sebagai mafia minyak goreng yang menyebabkan kelangkaan ini adalah hilir dari persoalan di hulu yang tak diselesaikan dengan baik dan tepat. Pemerintah seharusnya sejak awal menjaga ketersediaan stock di dalam negeri dengan membuat perhitungan yang riil dan angka angka yang sesuai dengan fakta di lapangan. Namun hal itu urung dilakukan. Malah ketika harga CPO di pasar ekspor meningkat, pemerintah seperti abai dan memberi kebebasan kepada petani dan pengusaha untuk mengekspor sebanyak banyaknya hasil kebun mereka tanpa memperdulikan stock dalam negeri yang menipis.
Oleh karena itu, dengan dibukanya kembali keran ekspor CPO mulaitanggal 23 Mei mendatang, saya berharap pemerintah sudah memperhitungkan dengan detail angka angka yang disajikan lembaga dan kementerian terkait agar peristiwa serupa bulan Februari hingga April silam tidak kembali terulang.
Strategi yang tepat dan jitu dari tentulah harus diterapan dan diharapkan dapat diberlakukan oleh pemerintah. Pemenuhan kebutuhan dalam negeri tentulah harus menjadi perhatian utama begitu pula harganya sudah mesti harus terjangkau oleh masyarakat. Dalam pandangan saya, pembukaan kembali keran ekspor CPO haruslah sudah dipikirkan matang matang agar kelak kebijakan yang disampaikan kepada masyarakat bukanlah kebijakan yang maju mundur dan menimbulkan dampak serius pada ekonomi mereka.